Entah sedih atau gembira para feminis dan aktivis pembela hak-hak perempuan menyaksikan putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas kasus korupwati mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari, yang menyunat hukumannya di Pengadilan Negeri dari 10 tahun penjara menjadi hanya 4 tahun saja.
Mengapa saya mengkaitkan vonis banding  Pinangki ini dengan suasana hati para feminis dan para social justice warrior (SJW), lantaran salah satu alasan terpidana kasus pengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA) dikurangi hukumannya oleh Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, karena Pinangki itu seorang wanita.
"Pertimbangan lain, Pinangki sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil," tulis putusan Majelis Hakim PT DKI yang di Ketuai oleh Hakim Muhammad Yusuf dengan hakim anggota Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Renny Halida Ilham Malik, seperti dilansir Kompas.com. Senin (14/06/21).
Terdapat sejumlah pertimbangan lain sehingga Majelis Hakim memangkas hukuman Pinangki selain karena ia wanita, Pinangki dianggap sudah menyesali perbuatannya.
Ya, mana ada sih manusia jika tertangkap setelah melakukan kejahatan tidak menyesali perbuatannya, menyesal karena tertangkap atau memang menyesal lantaran menyadari bahwa perbuatannya itu salah, kita tak pernah tahu.
Kalau kata pepatah sih "Dalamnya lautan bisa ditebak, dalamnya hati siapa yang tahu"
Pertimbangan lainnya, karena Pinangki seorang ibu dari anak balita yang membutuhkannya sehingga patut diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang.
Alasan normatif yang seharusnya dipikirkan Pinangki sebelum melakukan laku koruptif dengan menjual jabatannya demi cuan.
2 alasan normatif majelis hakim tersebut, tak sebanding dengan alasan absurd diskon masa hukuman Pinangki 'Lantaran ia WANITA'.
Sejak kapan gender menjadi bahan pertimbangan sebuah putusan hukum? Jadi kalau lelaki boleh diputus hukuman lebih berat dari yang seharusnya?
Padahal secara hukum jelas diatur dalam konstitusi kesamaan kedudukan di muka hukum, equality before the law. Jadi tak ada cerita absurd yang mengaitkan gender atau apapun dengan hukuman yang harus diterima terdakwa, kecuali pertimbangan-pertimbangan hukum itu sendiri.