Para pemain yang terlibat dalam liga ini diancam tidak diperbolehkan tampil dalam berbagai laga resmi mewakili negara di ajang Piala Eropa dan Piala Dunia.
Lebih jauh lagi klub sepakbola yang terlibat dalam ESL tak akan mendapat izin dari organisasi sepakbola negara masing-masing  untuk tampil di laga domestik negaranya.
Hal ini tentu saja bakal berat bagi klub dan pemain, ya tak ada jalan lain selain mengundurkan diri dari Kompetisi yang tadinya akan mulai dilaksanakan mulai musim 2021-2022.
ESL sendiri gagasan awalnya sudah diucapkan Perez sejak 2009 lalu, konon katanya dilakukan untuk menyelamatkan klub dan sepakbola secara keseluruhan.
Namun, semua baru mendekati kenyataan setelah digelarnya sebuah pertemuan pada 2016 silam. Tak banyak orang yang tahu, ternyata ada campur tangan dari miliarder AS, Stephen M. Ross dalam pembentukan ESL ini.
Menurut sejumlah sumber bacaan yang saya dapatkan, Stephen Ross yang merupakan sosok miliuner Amerika Serikat pemilik klub Miami Dolphin akan bertindak sebagai sponsor utama ESL dan ia diyakini ada dibalik pembentukan ESL.
Tadinya jika rencananya mulus, ESL akan berlangsung pada bulan Agustus berbarengan dengan liga domestik. Rencananya, 20 tim akan dibagi menjadi dua grup beranggotakan 10 tim, yang akan saling bertanding di kandang dan tandang.
Itu berarti klub yang berpartisipasi dijamin untuk memainkan 18 pertandingan grup sebelum tiga tim teratas di setiap grup lolos ke babak sistem gugur.
Tim yang finis keempat dan kelima kemudian akan bersaing dalam play-off dua leg untuk mendapatkan tempat perempat final yang tersisa.
Setelah penyisihan grup selesai, sistem gugur akan terlihat sama dengan Liga Champions, menampilkan pertandingan dua leg di perempat final dan semifinal sebelum final satu kali untuk menentukan juara.
Meskipun banyak pihak menyatakan bahwa alasan idealisme yang dilontarkan Perez itu cuma kilah belaka, sejatinya urusan ini adalah perkara meraup uang dalam jumlah yang cukup besar dari sepakbola antar klub Eropa.