Atmosfer Persidangan terhadap Imam Besar eks Front Pembela Islam alias FPI, di dalam dan di luar ruang sidang sangat menarik untuk dicermati.
Terdakwa seperti Rizieq Shihab yang memiliki simpatisan dan pendukung yang banyak ini memang sungguh sangat "istimewa".
Mulai dari perlakuan petugas Kepolisian, penyikapan Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim terhadap berbagai sikap Rizieq dalam persidangan yang kontroversial.
Mungkin hanya Rizieq yang berani secara terbuka "membangkang" kepada Hakim dan JPU saat persidangan dilaksanakan.
Tentunya masih lekat di ingatan kita, saat persidangan daring dititahkan Majelis Hakim, Rizieq dengan aksinya melakukan protes bahwa ia tak berkenan persidangan atas 3 kasusnya yang berkaitan dengan protokol kesehatan tersebut dilakukan secara daring.
Ia memohon, memaksa, hingga melakukan aksi walk out  agar persidangan dirinya dilaksanakan secara live atau tatap muka di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Padahal di masa pandemi ini, persidangan daring memang sudah sesuai aturan yang dikeluarkan Mahkamah Agung melalui Perma nomor 4 2020 tentang  Administrasi dan Persidangan Pidana Secara Online.
Dan praktiknya sudah dilakukan di pengadilan ribuan kali, memang ada beberapa kasus yang dilakukan secara luring atau tatap muka namun itu tak banyak, salah satunya seperti pada persidangan kasus suap Djoko Tjandra dengan terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonaparte.
Kasus ini lah yang kemudian dijadikan rujukan oleh tim kuasa hukum Rizeq Shihab untuk mengatakan bahwa diskriminasi terjadi pada pentolan mantan ormas FPI ini, mengapa Napoleon bisa di sidang tatap muka, sedangkan Rizieq tidak bisa.
Dalam perjalanannya kemudian, akhirnya Majelis Hakim mengabulkan permohonan Rizieq dan tim kuasa hukumnya untuk melaksanakan sidang secara tatap muka.
Tentunya dengan pembatasan-pembatasan berdasarkan protokol kesehatan pandemi Covid-19 seperti yang dinyatakan oleh Majelis Hakim, diantaranya Kuasa Hukum yang berhak hadir di ruang sidang dibatasi hanya 6 orang saja.