Merayakan Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri di tengah pandemi ini memang sangat menantang. Bukan perkara ibadahnya saja yang harus diatur ulang, disesuaikan dengan standar protokol kesehatan, tetapi hampir seluruh aspek "kebiasaan" berlebaran pun menjadi "tidak biasa."
Bayangkan, mudik lebaran yang merupakan kebiasaan sejak puluhan bahkan ratusan tahun karena pandemi secara resmi telah dinyatakan terlarang oleh pemerintah.
Mudik dalam kacamata saya sudah menjadi budaya pop dunia, fenomena temporary exodus untuk menyambut sebuah momen keagamaan ini terjadi juga diberbagai negara di dunia.
Di Tiongkok, setiap tahun baru China atau yang kita kenal dengan Imlek, mudik hampir pasti dilakukan oleh penduduk China.
Begitu pun di Amerika Serikat Natal dan Hari Thanksgiving menjadi momen utama bagi warga AS untuk kembali ke kampung halamannya masing-masing.
Di India ada Festival of Light atau Deevapali, perayaan keagamaan yang biasanya jatuh pada bulan Oktober atau November ini, selalu diiringi dengan mudik besar-besaran di India.
Di Malaysia, Bangladesh mudik menyambut Idul Fitri terjadi juga. Pun diberbagai negara Eropa dalam skala lebih kecil mereka juga melakukan perjalanan mudik untuk menyambut Natal.
Di Indonesia, jika bicara mudik maka asosiasinya sudah pasti berkaitan dengan Lebaran. Bagi mayoritas orang Indonesia, Ramadan saat mudik biasanya dilakukan adalah bulan yang tak hanya bermakna spiritual tapi juga kultural.
Begitu Ramadan tiba kerinduan orang Indonesia terhadap momen estetik puasa dan lebaran di kampung halaman memenuhi relung hati dan pikirannya.
Mengapa mudik menjadi terasa begitu "penting", mudik merupakan momen untuk kembali menziarahi identitas kultural dan genelogis kita, setelah lama ditinggalkan karena kepentingan berkehidupan.
Namun karena pandemi Covid-19, mudik di Indonesia menjadi "haram" untuk dilakukan lantaran bisa menjadi media bagi penularan virus laknat Covid-19.