Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Setelah Menjadi Ketum Demokrat, Moeldoko Lebih Baik Mundur dari KSP

6 Maret 2021   07:45 Diperbarui: 6 Maret 2021   09:26 958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti yang saya duga, Partai Demokrat benar-benar pecah terbelah menjadi dua kubu sesaat setelah Kongres Luar Biasa "Partai Demokrat Tandingan" di Sibolangit Deli Serdang Sumatera Utara menetapkan Ketua Umumnya yang baru Jendral TNI Purnawirawan Moeldoko.

Dan menurut Moeldoko KLB yang memilih dirinya secara aklamasi tersebut konstitusional.

Namun fakta ini kemudian disanggah oleh kubu Demokrat yang dipimpin oleh Ketua Umumnya Mayor TNI Purnawirawan Agus Harimurty Yudhoyono (AHY). Dengan menyebut KLB Demokrat di Sibolangit merupakan KLB Ilegal dan abal-abal.

Karena mereka sangat yakin bahwa KLB tersebut tak sesuai AD/ART partai, dengan alasan  KLB  hanya bisa dilaksanakan atas persetujuan Majelis Tinggi Partai Demokrat yang saat ini diketuai oleh Susilo Bambang Yudhoyono atau atas persetujuan 2/3 pemilik suara di DPD/DPC Demokrat.

Dalam situasi seperti ini  saling klaim siapa yang paling benar menjadi sebuah keniscayaan. Kecap kan selalu diakui pemiliknya sebagai nomor 1.

Terlepas dari saling klaim tersebut, buat saya sungguh sangat ironis ketika seorang Kepala Staf Presiden seperti Moeldoko yang berada di ring utama kekuasaan dan bisa disebut merupakan orang dekat Presiden Jokowi harus terlibat secara gamblang dalam konflik "internal" Partai Demokrat.

Mengapa ironis, lantaran tindakan Moeldoko kali ini alih-alih meringankan beban pekerjaan Presiden Jokowi  ia malah sangat berpotensi menambah beban politik Jokowi selaku Presiden dan Pemerintahannya saat ini secara keseluruhan.

Andai pun seperti yang ia klaim sebelumnya bahwa tindakannya ini sama sekali tak ada hubungannya dengan Jokowi dan Pemerintahannya lantaran seratus persen atas nama pribadi, tapi diakui atau tidak jabatannya sebagai Kepala Staf Presiden melekat dalam segala kegiatan Moeldoko sehari-hari, termasuk melakukan "hostile takeover" terhadap PD.

Apakah jika Moeldoko tak menjadI KSP, ia akan memiliki kekuatan untuk menggoyang Demokrat dan dipilih menjadi Ketum PD untuk dijadikan cantolan oleh para pendukung KLB yang tak puas akan situasi PD saat ini?

Saya rasa tidak mungkin Moeldoko dipilih sebagai pribadi an sich, ia dipilih karena merupakan individu  yang berada di ring utama kekuasaan.

Makanya tak heran kemudian kubu PD AHY mengaitkan dan mulai melakukan serangan verbal kepada Jokowi dan Pemerintahannya. Dan hal ini bakal membawa  Jokowi dan pemerintahaannya dalam posisi sulit.

Dengan dualisme kepengurusan seperti ini, gugat menggugat pasti akan terjadi dan awalnya Kubu Demokrat Moeldoko harus mendaftarkan hasil aksi politiknya tersebut ke Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (Kemenkumham) untuk mendapat pengesahan.

Ini akan menjadi burden bagi pemerintah Jokowi, walaupun misalnya secara administratif hukum, KLB Sibolangit itu benar-benar sah, dan kemudian Kemenkumham mengesahkan kepengurusan Demokrat Moeldoko, tindakan Kemenkumham tersebut dengan mudah bakal di goreng dan mereka harus menghadapi tekanan dan sudah hampir dapat dipastikan Jokowi akan terbawa-bawa.

Pun demikian dengan pihak Kepolisian, AHY berencana melaporkan kegiatan KLB Sibolangit ke pihak Kepolisian karena dianggap ilegal dan bagi Polisi ini bakal menjadi kesulitan tersendiri.

Jika tidak menindaklanjuti laporan tersebut atas alasan yang valid pun, polisi akan dianggap berpihak pada Moeldoko dan ujungnya kembali akan menyeret pemerintahan Jokowi secara keseluruhan.

Jadi intinya, Pemerintahan Jokowi akan terus terseret-seret masalah yang sebenarnya bukan "perang mereka".

Hal itu sudah hampir dapat dipastikan bakal mengganggu ritme kerja Pemerintah dalam mengatasi berbagai masalah krusial yang tengah dihadapi saat ini.

Atas asumsi tersebut ada baiknya jika Moeldoko melepaskan jabatannya sebagai Kepala Staf Presiden. Agar Jokowi dan pemerintahannya tak harus terbawa arus yang tercipta oleh tindakan pribadi Moeldoko.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun