Setelah persidangan yang berjalan begitu panjang dan melelahkan, untuk kemudian oleh para juri dinyatakan bersalah mereka dijebloskan dalam penjara, ini bukan akhir dari cerita, justru inilah awal dari cerita kehidupan ke-5 remaja itu ke depannya.
Kisah ketidakadilan minus rasisme dalam serial ini mengingatkan saya pada kisah serupa yang pernah terjadi di Indonesia 41 tahun lalu ya pada tahun 1977, ketika 2 orang petani asal Desa Bojong Sari Kabupaten Bekasi Jawa Barat yang dikenal dengan nama Sengkon dan Karta harus mendekam di penjara masing-masing selama 12 tahun bagi Sengkon dan 7 tahun bagi Karta atas tuduhan pembunuhan yang sama sekali tidak mereka lakukan.
Mereka menerima vonis selama itu dari Hakim Djunerty Soetrisno di  Pengadilan Negeri Bekasi lantaran ibu hakim ini yakin bahwa mereka bersalah atas dakwaan pembunuhan dan perampokan.
Putusan ini kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat ketika Sengkon dan Karta mengajukan banding, putusan ini kemudian berkekuatan hukum tetap karena keduanya tak lagi memiliki minat untuk melakukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Pada zamannya persidangan Sengkon dan Karta ini menyedot perhatian masyarakat lua, kedua petani itu bersikukuh menolak seluruh dakwaan yang dilontarkan Jaksa Penuntut Umum
Saat itu, tiga saksi meringankan dihadirkan dan memaparkan bahwa saat pembunuhan itu terjadi Karta tengah meringkuk sakit dirumahnya, namun entah mengapa menurut keyakinan Hakim mereka dianggap bersalah hingga akhirnya diputuskan bersalah.
Seperti halnya kelima remaja dalam serial When They See Us, putusan bersalah atas tuduhan tak berdasar tersebut merenggut kemanusian dan kehormatan kedua petani lugu ini, penjara Cipinang bukan akhir perjalanan kisah mereka tapi menjadi awal kehidupan buruk yang menimpa Sengkon dan Karta.
Serupa dengan para remaja itu, menurut pengakuan Sengkon, sejak awal kasus ini mereka sudah sangat menderita karena keduanya disiksa dan dianiaya oleh aparat polisi agar mau mengakui perbuatan yang sebenarnya sama sekali ia tak pernah lakukan itu.Â
Dalam penjara penderitaan mereka malah bertambah parah, Sengkon di diagnosis menderita Tubercolosis(TBC) Paru, karena penyakitnya ini ia terus menerus berdoa agar cepat mati saja.
Apalagi mengingat, andai pun keluar mereka sudah tak memiliki apa-apa lagi, tanah pertanian yang biasanya mereka garap sudah ludes digunakan untuk membiayai hidup sehari-hari keluarganya dan membiayai kasus yang menimpanya tersebut.
Keluarganya di luar sudah kocar-kacir kehidupan mereka berantakan, lantaran tulang punggung keluarganya yang selama ini menghidupi keluarga mereka harus mendekam di bui karena kejahatan yang tak pernah mereka lakukan.