Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hitam Putih Pramoedya Ananta Toer "Sang Algojo Lekra" dan Propaganda

27 September 2020   15:17 Diperbarui: 27 September 2020   15:47 948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pram yang kemudian diangkat menjadi pimpinan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang merupakan underbouw PKI. Sementara para sastrawan dan budayawan anti-komunisme menggabungkan diri mereka dalam Manifest Kebudayaan yang didirikan pada 1963.

Para anggota Manifest Kebudayaan yang diantaranya terdiri dari sastrawan-sastrawan kondang seperti Taufiq Ismail, HB Yassin, Mochtar Lubis, Ajip Rosidi, hingga Buya Hamka mereka mengusung narasi humanisme universal. 

Demi mendengar hal ini, Pram kemudian mengolok-ngolok manifest kebudayaan ini dengan sebutan Manikebu  dan ia pun mengkritisi narasi humanisme universal milik mereka serta menganggapnya sebagai bagian dari imperialis-neokolonialisme.

"Kaum Manikebu muncul justru pada saat kita sedang mengarahkan sasaran tembak pada kaum imperialis-neokolonialisme sebagai titik pusat tembak. Mereka muncul pada pada garis tembak kita," ujar Pram di Lentera tanggal 12 April 1964 seperti yang saya nukil dari Historia.Id.

Sebagai tandingan atas narasi humanisme universal yang mewacanakan perjuangan kebudayaan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia yang memiliki inti seni untuk kemanusian. Pram merilis narasi yang ia sebut realisme sosialis yang meletakan kenyataan dan kebenaran yang lahir dari pertentangan-pertentangan dalam masyarakat maupun dihati setiap individu manusia sebagai dasar material kesenian.

Selain berperang wacana melalui berbagai tulisan, Pram juga melakukan berbagai aksi nyata melalui lobi-lobi ke pemerintah Soekarno untuk menekan para sastrawan yang tergabung dalam Manikebu agar mereka dipecat dari jabatan publik dan karya-karya tulis mereka dilarang diterbitkan dan kolom-kolom mereka di majalah dan koran dihilangkan, intinya tulisan-tulisan mereka tak boleh terbaca oleh masyarakat.

Dan betul saja, menindaklanjuti tekanan tersebut, Presiden Soekarno membubarkan Manikebu pada pertengahan 1964. 

Para sastrawan Manikebu kemudian menjadi sengsara karena karya mereka tak ada lagi yang mau menerbitkan atau sekedar memuat di halaman majalah dan koran.

"Kami menjadi sengsara, terpojok, dan tanpa karya" ujar Taufiq Ismail salah satu pendiri Manikebu.

Bahkan Taufiq Ismail saat itu menyebut Pram yang merupakan pemimpin Lekra sebagai "Algojo Lekra".

Tindakan Pram seperti ini menurut salah satu pendiri Manikebu yang lain, Ajip Rosidi bukan merupakan permintaan dari Lekra maupun PKI  tetapi atas pemikirannya sendiri.

Lantaran Ajip meyakini, Pram itu seorang Soekarnois sejati sehingga apapun kebijakan Soekarno akan sangat di dukung Pram.

Namun karena tindakan Pram tersebut menguntungkan pihak  kiri, maka dukungan dari PKI pun mengalir sangat deras kepadanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun