Harapan itu bisa dimaklumi karena kita semua tahu lebih dari 60 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia di pacu oleh sektor konsumsi rumah tangga.
Dengan kondisi pandemi Covid-19 seperti yang saat ini terjadi yang memaksa aktivitas dan mobilitas masyarakat dibatasi, konsumsi masyarakat pada bulan Ramadhan inj dipastikan akan jauh berkurang di banding tahun-tahun sebelumnya.
Dari sisi supply pun uang yang beredar akan drop jauh dari tahun sebelumnya, THR yang biasa dijadikan sebagai bumper untuk menjaga sisi supply pada saat inflasi Ramadhan terjadi, kini bagi sebagian besar pekerja THR itu menguap hilang seiring penurunan dan penutupan aktivitas ekonomi di Indonesia akibat pandemi Covid-19.
Bahkan Aparatur Sipil Negara (ASN) tak semua mendapatkan mendapatkan THR, hanya golongan I hingga III saja yang memperoleh THR. Itu pun tidak dalam jumlah penuh seperti tahun-tahun sebelumnya, hanya sebesar gaji pokoknya saja yang dibayarkan.
Akhirnya belanja konsumsi masyarakat akan menurun, ya ujungnya pertumbuhan ekonomi yang datangnya dari konsumsi rumah tangga itu kehilangan momentum untuk kemudian sirna ditelan Covid-19.
Belanja pemerintah  dalam APBN yang menggunakan pola counter cyclical berusaha menjaga agar pertumbuhan kondisi ini dengan berbagai  belanja terutama untuk kebutuhan penanganan Covid-19.
Pemerintah me re-alokasi seluruh anggaran-anggaran yang tak terlalu penting pada penanganan Covid-19, tak kurang dari Rp.405,1 triliun di anggarkan untuk ini.
Dan Rp.110 triliun diantaranya akan digunakan untuk jaring pengaman sosial dengan bantuan sosial  tunai maupun bahan pokok.
Sebetulnya apa yang dilakukan pemerimtah ini selain untuk menolong warga miskin dan menjaga daya beli mereka, juga dilakukan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi.
Karena dalam pola  fiskal counter cyclical biasanya ketika belanja masyarakat turun, maka belanja pemerintah akan naik.
Namun sepertinya mustahil kita berharap banyak pertumbuhan ekonomi akan terjadi pada Ramadhan tahun ini.