Sebagai tambahan informasi, Pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 telah menganggarkan sebesar Rp. 48,8 triliun untuk menambal defisit BPJS Kesehatan.
Angka ini naik cukup tinggi di banding APBN 2019 yang sebesar Rp. 26,7 triliun. Sementara untuk tahun ini, akhir Januari lalu  Kemenkeu sudah merealisasikan dana talangan  sebesar Rp. 4,03 triliun.
Defisit BPJS Kesehatan yang semakin dalam setiap tahunnya terutama disebabkan oleh 4 hal yakni:
Pertama, struktur iuran BPJS masih terlalu muarah dibawah  perhitungan aktuaria. Jadi iurannya terlalu kecil sementara manfaatnya terlalu banyak.
Kedua, Â banyaknya Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau Peserta Mandiri dari sektor informal yang hanya membayar saat dirinya sakit saja, kemudian berhenti membayar iuran saat dirinya sudah sehat.
Ketiga, tingkat keaktifan peserta mandiri untuk.membayar sangat rendah hanya 54 persen, sementara utilitasnya sangat tinggi.
Keempat, beban pembiayaan BPJS Kesehatan untuk.penyakit katatropik seperti Jantung dan Kanker itu sangat besar, 20 persen dari seluruh pembiayaan BPJS ya untuk penyakit ini.
Jika berkaca pada 4 hal tersebut, setelah putusan MA yang membatalkan kenaikan tersebut menghilangkan sebab pertama dengan cara menaikan iuran tak dapat dilakukan lagi dalam jangka pendek.
Agar keberlangsungan BPJS K terus bisa dipertahankan ditengah defisit yang semakin dalam.
Saya rasa pemerintah harus mengoptimalkan mengatasi permasalahan defisit kedua dan ketiga, yakni meningkatkan sanksi bagi peserta mandiri yang hanya mau enaknya saja.
Membayar ketika sakit dan berhenti membayar ketika sehat, hal ini bisa diatasi dengan ketegasan pemerintah memakai cara membatasi akses terhadap berbagai layanan lain, seperti perbankan, pembayaran STNK kendaraan bermotor misalnya.