Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo baru saja meresmikan terowongan pengendali banjir di Narogong Kabupaten Bandung. Proyek yang berada di hulu Sungai Citarum ini diharapkan dapat menjadi pengendali luapan Sungai Citarum yang kerap merendam Bandung bagian selatan dan beberapa daerah di aliran Sungai Citarum.
Selain Terowongan Narogong ini, dalam sebulan terakhir Jokowi sudah meresmikan beberapa proyek infrastruktur yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia.Â
Di luar proyek-proyek infrastruktur, Jokowi terlihat sangat intens membahas berbagai aturan terkait investasi dan penciptaan lapangan kerja. Omnibus Law yang merupakan aturan yang memiliki berbagai macam aspek, digabungkan dalam sebuah undang-undang.
Omnibus Law ini berguna untuk menyelesaikan undang-undang yang tumpang tindih. RUU Omnibus Law yang terdiri dari dua bagian besar yakni Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan Omnibus Law Perpajakan.
Saat ini keduanya telah rampung dibahas di tingkat pemerintah untuk kemudian diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera dibahas dan disahkan. Omnibus Law ini diharapkan akan menjadi moodbooster bagi investasi yang dianggap Jokowi masih "kurang nendang".
Dalam 100 hari pertamanya sebagai Presiden di periodenya yang ke II ini Jokowi terlihat jauh lebih intens berkonsentrasi mengatasi permasalahan ekonomi yang memang saat itu sedang dalam kondisi butuh perhatian lebih.
Bahkan untuk menentukan personalia pejabat-pejabat BUMN pun Jokowi terlibat langsung sebagai Ketua Tim Penilai Akhir. Dalam hal koordinasi antara kementerian yang berkaitan langsung dengan perekonomian nasional sepertinya Jokowi langsung menangani hal tersebut, padahal seharusnya dapat dilakukan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.Â
Apakah itu salah? Ya tidak juga. Mungkin Jokowi berpandangan dalam 100 hari pertamanya harus melakukan pembenahan di berbagai sektor yang berhubungan langsung dengan perekonomian supaya memiliki daya ungkit yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.Â
Namun ndilalah, isu ekonomi di Indonesia sedang dihiasi berbagai permasalah yang berkaitan dengan mikroprudensial. Beberapa lembaga keuangan milik negara dan swasta sedang dirundung masalah berat dan rumit.
Industri Asuransi Indonesia dihantam deretan potensi gagal bayar yang masif. Jiwasraya butuh Rp.32,2 triliun untuk bisa sehat kembali setidaknya sesuai dengan standar Risk Base Capital (RBC) minimal 125 persen seperti yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Asuransi Bumiputera 1912 juga mengalami defisit keuangan yang cukup besar yang diperkirakan Rp 2,1 triliun hingga Rp. 2,5 trliun pertahun mulai tahun 2017 sampai dengan 2021.