Masa kata " jaman riklipik" mungkin sudah lewat, kata yang bisa berarti jaman  baheula itu ditenarkan oleh seorang penulis berambut gondrong yang saat itu merangkap sebagai Jurnalis Majalah Hai, Hilman.
Bukunya yang fenomenal dan tokoh rekaannya bernama Lupus menjadi panutan anak muda tahun 90an.
Namun bukan buku itu yang akan dibahas dalam tulisan sederhana ini. Tapi pengalaman masa kecil saya ketika masyarakat  Tionghoa  di  Kota Sukabumi merayakan Imlek saat itu.
Saya tinggal di wilayah yang bisa lah di sebut sebagai pecinan Kota Sukabumi. Walaupun kami asli Sunda beragama Islam, namun tetangga kami kanan kiri ya Tionghoa.
Padahal di awal 90an , saar Orde Baru masih berkuasa segala macam yang berkaitan dengan China masih sangat dibatasi, berbeda dengan saat ini.
Namun terbatasnya kebebasan merayakan Imlek sepertinya tak terlalu terasa saat itu. Wayang Potehi di gelar hampir tiap malam selama seminggu penuh.
Barongsay juga menjadi salah satu satu atraksi yang paling ditunggu saat perayaan Imlek saat itu, di malam Imlek,  pertunjukan Barongsay  beraksi disepanjang jalan sekitar Vihara.
Saya yang waktu itu masih kecil, menguntit dibelakang  para penampil barongsay, mengikuti kemanapun mereka berjalan.
Warna merah terang mendominasi sepanjang jalan, akh Indahnya saat itu. Tak ada satu pun Ormas yang berniat demo untuk menolak Barongsay seperti saat ini.
Mungkin saat itu Keimanan kami umat muslim lebih tebal, kami tak pernah merasa terganggu dengan perayaan keagamaan umat lain, dengan alasan terganggu atau apapun.
Kami hidup berdampingan, saling menghormati keyakinan agama masing-masing. Ketika Imlek kami mengucapkan selamat kepada mereka yang merayakannya.
Saat Natal pun demikian, saling berucap salam seraya membagi kebahagian dengan mengirim berbagai penganan khas Hari Raya masing-masing.
Begitu pun ketika kami berpuasa Ramadhan, sudah dapat dipastikan mereka menghormati kami yang sedang berpuasa.
Orang tua mereka melarang anak-anaknya makan diluar. Saat Idul Fitri datang mereka mengunjungi rumah kami untuk mengucapkan selamat Lebaran, Minal Aidzin Wal Fa Idzin katanya.
Dan saat mereka pulang, kami bekali mereka dengan penganan khas Lebaran. Itulah yang terjadi saat itu.
Setiap perayaaan keagamaan, terlepas dari agama apapun itu selalu menjadi sebuah kebahagian bagi kami semua, tak ada keributan hanya karena berucap "selamat" seperti saat ini
Akh Imlek selalu membawa alam pikiran saya ke jaman dimana toleransi.menyala terang, menerangi kehidupan beragama saat itu.
GONG XI FA CAIÂ