Mohon tunggu...
Ferry Kurniawan
Ferry Kurniawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya

Bjork said –I am a source of blood, in the form of a girl. I said, I'm a really weird person. An Aquarius hooked on the social sciences, lost in words and eager to dive into the depths of the absurd. You can dig into my old opinion here. Someone who has thoughts piled up with problems, who are reluctant to tell directly.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membagi Peran Gender yang Setara dalam Tiap Sektor

25 Januari 2023   23:11 Diperbarui: 25 Januari 2023   23:16 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejarah mencatat, tidak sedikit peran sekaligus pertarungan laki-laki dan perempuan dalam membangun Indonesia sejak era kolonial hingga era kontemporer. Pergeseran peran inilah yang menyebabkan munculnya budaya patriarki dan matriarki berkembang hingga melekat di Indonesia. Keterlibatan laki-laki dan perempuan semakin berpengaruh dalam pengambilan keputusan serta kegiatan politik. Kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam politik, ekonomi, dan sosial serta non diskriminatif adalah prinsip hak asasi manusia yang paling mendasar sekaligus bagian integral dari demokrasi.

Belakangan perjuangan perempuan dalam memperoleh kesetaraan mulai mencuat kembali dan menjadi diskursus pada akhir abad ke-19. Adanya budaya patriarki dalam proses kultural yang memposisikan perempuan di sektor domestik dan segala hak keputusannya ditentukan oleh laki-laki. Objektifikasi perempuan secara kultural, sosial, dan politik menjadi dasar utama dalam upaya mengambil kembali peran yang selama ini didominasi laki-laki. Bukan berarti, upaya ini dilakukan untuk membalas hegemoni laki-laki terhadap perempuan, melainkan sebagai upaya mengembalikan keseimbangan peran yang setara.

Secara umum, keadaan perempuan Indonesia telah berubah, terbukti dengan laporan statistik peningkatan pendidikan dan partisipasi perempuan pada sektor publik. Namun, di tengah budaya Indonesia yang dominan, patriarkis dan berbasis nilai, perubahan keadaan ini tidak berbanding lurus dengan peningkatan posisi perempuan dalam masyarakat. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh fakta bahwa proporsi perempuan pada jabatan tertentu di eksekutif, legislatif, dan yudikatif sangat rendah, yakni kurang dari 20 %. Utamanya, perempuan di kota besar tergabung dalam instansi atau lembaga strategis yang menunjukkan bahwa semua ini karena sistem dan budaya patriarki memungkinkan terjadinya banyak ketidakadilan dan diskriminasi perempuan (Habibah, 2015).

Dalam konteks demokrasi, posisi ini jelas tidak menguntungkan perempuan pada sistem nilai patriarki yang menempatkan perempuan pada subordinasi laki-laki. Sistem patriarki sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, baik pada perempuan bawah atas maupun atas dan terjadi tidak hanya di ruang domestik melainkan juga pada ruang publik. Meski demikian, Peluang kehadiran perempuan dalam ruang publik (kontestasi politik) di Indonesia mengalami peningkatan. Tidak bisa dipungkiri, bahwa perempuan mengalami peningkatan dalam keikutsertaan meramaikan dinamika perpolitikan kontemporer. Fenomena ini sebagai hasil menguatnya gerakan dan tuntutan serta meluasnya kesadaran tentang kesetaraan gender atau pentingnya partisipasi perempuan dalam politik (Widiyaningrum, 2020).

Sebagai hasil transformasi pasca reformasi, kepentingan perempuan dapat diperjuangkan dengan lebih nyata di segala sektor. Disahkannya peraturan perundangan dan turunannya yang ramah terhadap perempuan merupakan wujud penerapan kebijakan berbasis keadilan gender. Melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 65 ayat (1) menyatakan, bahwa  Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% .

Selain itu, partisipasi perempuan dalam ruang publik secara universal untuk berekspresi telah termuat dalam Undang-Undang Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Hal ini dengan jelas memberikan ruang yang aman dan berkeadilan gender untuk setiap warga negara dalam berekspresi, meskipun dalam beberapa kasus masih banyak kriminalisasi maupun diskriminasi di lapangan. Disamping itu, berlakunya Undang-Undang Nomor 12  Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual pada awal tahun ini merupakan hasil nyata dari ekspresi dan desakan masyarakat mengenai tindak perlindungan berbasis gender.

Dengan demikian, perjuangan untuk memperoleh keadilan gender baik di ruang domestik maupun publik akan terus mengalami peningkatan di tengah banyaknya kasus subordinasi gender dan berkembangnya wawasan masyarakat tentang masalah tersebut. Untuk mengurai permasalahan diatas, maka artikel ini akan berfokus pada penjelasan tentang kesetaraan partisipasi perempuan dalam masyarakat menggunakan kajian sosiologi gender.

Persoalan gender belakangan kian menarik perhatian masyarakat luas, baik dari segi pendukung maupun penentang atas kesetaraan gender pada umumnya. Secara umum, partisipasi berarti mengambil bagian dari suatu tahap atau lebih dari suatu proses. Menurut (Habibah, 2015) bahwa dalam partisipasi terdapat proses dari tindakan pada suatu keadaan atau kegiatan sebelumnya telah terdefinisikan. Dengan kata lain, terdapat keadaan tertentu lebih dahulu, sehingga kemudian ada tindakan mengambil bagian.

Dalam kajian gender, ciri-ciri perempuan diketahui dengan tindakan yang mencerminkan bahwa seorang individu yang dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui. Ciri tersebut merupakan suatu kondisi alamiah dari seorang perempuan yang bisa dikenal dengan jenis kelamin perempuan. Sedangkan gender menurut (Maulidia, 2021) berasal dari perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan yang selanjutnya dikonstruksikan secara sosial oleh masyarakat tentang peran sosial serta ciri-ciri dari laki-laki dan perempuan. Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan tersebut merupakan hasil dari proses konstruksi sosial yang tidak tumbuh dengan sendirinya, melainkan ada proses sosialisasi nilai, norma, dan budaya yang diterima dan disosialisasikan kembali oleh masyarakat.

Melalui teori gender mencoba memahami bagaimana dan mengapa gender disadari sebagai hal yang bersifat alamiah. Konstruksi budaya masyarakat yang membuat perempuan berperan pada sektor domestik kemudian menuntut untuk lebih bersikap feminim. Sehingga dengan habit tersebut, perempuan cenderung pasif karena dinormalisasi oleh norma yang melekat dan terbiasa dilakukan laki-laki lalu muncul istilah nrimo ing pandum. Dengan sikap tersebut, perempuan yang terbentuk pasif mendorong untuk menyerahkan segala urusan dan menimbulkan ketergantungan perlindungan terhadap laki-laki. Kondisi inilah yang memunculkan dominasi laki-laki terhadap perempuan, baik dalam berumah tangga maupun kehidupan bermasyarakat (Maulidia, 2021).

Melihat perkembangan zaman, partisipasi perempuan dalam ruang publik kian menarik perhatian masyarakat yang umumnya didominasi oleh laki-laki. Dalam kajian sosiologi gender, ruang publik diartikan lebih luas sebagai ruang di mana tidak ada aktivitas domestik yang telah dikonstruksikan oleh masyarakat dalam tiga hal, yaitu dapur, sumur, dan kasur (Maulidia, 2021). Sehingga, apabila perempuan telah berperan dalam aktivitas di luar rumah (selain kegiatan domestik), maka perempuan tersebut tengah menunjukkan eksistensi berada di ruang publik.

Dewasa ini, gerakan perempuan di Indonesia tidaklah lahir secara prematur melainkan melalui proses panjang dari pra kolonial hingga pasca reformasi. Deretan nama seperti Dewi Sartika, Kartini, Rohana, Ruswo, dan Siti Jenab merupakan pejuang generasi awal Indonesia abad ke-19. Selanjutnya, berbagai organisasi gerakan perempuan muncul pada awal abad ke-20. Putri Mahardika (1912), Keutamaan Istri (1913), Kerajinan Amai Setia (1914), Pawiyatan Wanito (1915), Wanito Hado (1915), Putri Budi Sedjati (1915), Pengasih Ibu Kepada Anak Turunan atau PIKAT Minahasa (1917), Wanita Katolik (1917), Wanito Susilo (1918), Aisyiyah Dan Fatimiah (1920), Merupakan Diantara Organisasi Itu (Setiawan, 2020).

Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942 di Indonesia, semua organisasi perempuan dilarang kecuali Fujinkai. Pasca kemerdekaan, berbagai organisasi baru muncul maupun kelanjutan dari organisasi sebelumnya termasuk organisasi perempuan. Wanita Marhaen sebagai organisasi sayap Partai Nasionalis Indonesia dan Gerakan Wanita Sedar (GERWIS) menjadi organisasi perempuan yang cukup besar dalam periode awal kemerdekaan. GERWIS berganti nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI) pada tahun 1945. GERWANI merupakan organisasi besar dan berpengaruh dalam sejarah Indonesia, sehingga seringkali dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Secara umum, anggota GERWANI memiliki dasar pendidikan yang tinggi dan berkesadaran politik.

Memasuki masa rezim Orde Baru (ORBA), sejarah panjang gerakan perempuan mulai terputus kiprahnya sejak 1 Oktober 1965. Rezim ORBA mulai memberangus dan melumpuhkan organisasi-organisasi perempuan beserta seluruh organisasi independen lainnya. Rezim Orde Baru mendukung kapitalisme yang berkembang dengan cara-cara yang sangat kejam, penuh dengan perampasan tanah petani, penggusuran pemukiman kaum miskin, penindasan dan penghisapan kaum buruh, dan berbagai bentuk kekerasan oleh aparat sipil maupun militer (Mursidah, 2012).

Dengan adanya pemberangusan gerakan perempuan semasa rezim Orde Baru, gerakan perempuan seketika jalan di tempat. Lahirlah organisasi bentukan rezim seperti Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Dharma Wanita,  dan Dharma Pertiwi. Organisasi boneka tersebut berperan sebagai tanggapan atas hegemoni dan dominasi negara terhadap perempuan. Dalam praktiknya, seluruh organisasi boneka tersebut diawasi dengan ketat, dan mutlak menjalankan politik pemerintah. Basis organisasi ini menempatkan perempuan sebagai ibu rumah tangga “the second sex” berperan dalam “domestic sphere”, sedangkan laki-laki berada di luar rumah “public sphere”. Artinya, rezim Orde Baru tengah menciptakan hegemoni pemerintah terhadap perempuan dan mensosialisasikan sistem patriarki dalam masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun