Mohon tunggu...
Ferre Templar
Ferre Templar Mohon Tunggu... -

Saya Menulis Demi Menjaga Kewarasan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Refleksi, Kenapa Masih Miskin?

30 Oktober 2017   02:57 Diperbarui: 30 Oktober 2017   04:02 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Memahami makna Value atau Nilai.

Dalam tulisannya Marx menganggap produksi adalah aktivitas manusia yang menghasilkan nilai bagi orang lain (social labor). Nilai dilihat oleh Marx sebagai sesuatu yang immaterial tapi objektif. Artinya walaupun bendanya tidak ada, tapi bisa diukur. Seperti kekuasaan. Tidak ada wujudnya tapi semua manusia merasakan dampaknya. Nilai dimanifestasikan dalam bentuk uang sebagai bentuk pengukuran terhadap social labor.

Seiring berkembangnya material dari social labor, yakni uang dalam bentuk fisik seperti emas membuat social labour masih terikat dalam bentuk fisik material, namun dengan teknologi, uang berubah menjadi kertas bahkan menjadi digital, mebuat uang tidak lagi terikat dengan bentuk fisik yang merepresentasikan social labor lagi. Dia menjadi sesuatu yang baru dan terlepas dari hubungan material antara uang dan hubungan social.

Kondisi terlepasnya antara nilai uang dengan bentuk material, seolah melepaskan hubungan antara nilai yang bermanfaat bagi social dan nilai sebagai nilai tukar. Marx menyebut dengan use value dan exchange value. Sebagai contoh, sebuah rumah memiliki nilai guna /use value sebagai tempat tinggal dan membesarkan keluarga. Namun rumah juga memiliki exchange value, karena rumah memiliki nilai nominal yang bisa direpresentasikan dalam nilai uang. Permasalahan muncul, ketika Rumah dijadikan sebagai instrument investasi, di mana rumah tidak lagi mencerminkan kegunaannya tapi bisa meningkatkan nilai exchange/tukar karena rumah dipersepsi dibutuhkan oleh semua orang, sehingga seiring jalannya waktu, nilai rumah akan naik dengan naiknya kebutuhan akan tempat tinggal.

Kondisi ini berakibat, banyak orang yang butuh tempat tinggal tidak bisa menempati rumah karena dia tidak bisa lagi membayar nilai tukar yang sudah tidak lagi mencerminkan nilai guna. Alhasil bisa dilihat dari apartemen-apartemen di Jakarta, yang megah-megah namun sedikit orang yang menempati, dilihat, sebagai ilustrasi, dari jumlah lampu yang menyala saat malam.

 Padahal, orang yang memiliki kebutuhan akan tempat tinggal, banyak yang hidup menggelandang karena tidak bisa mendapatkan exchange value yang dibutuhkan untuk mendapatkan apartment. Sosial labor dari orang-orang yang membangun apartmen tidak lagi menjawab kebutuhan social akan tempat tinggal, melainkan menjadi sebuah instrument exchange  value yang hanya bermanfaat bagi orang-orang yang memiliki nilai tukar (uang) untuk membiakan uangnya.

Dari nilai tukar dan nilai guna ini masalah menjadi lebih menarik jika melihat hubungan antara milik pribadi dan milik social. Tidak akan ada kepemilikan pribadi jika tidak didukung oleh suatu institusi social yang melindungi kepemilikan tersebut. Jadi sumber daya untuk melindungi asset pribadi, pastilah berasal dari  social. 

Dengan ilustrasi apartemen, untuk melindungi kepemilikan apartemen tadi, pemerintah harus menjaga para orang yang tidak mampu memiliki dan gelandangan untuk tidak menjarah/ menduduki dengan paksa apartemen yang kosong tersebut (kosong karena tidak ada yang tinggal dan menggunakan apartemen sebagai nilai tukar investasi) dengan uang pajak yang sebagian dibayarkan oleh orang-orang yang tidak bisa mengakses nilai guna dari apartemen tersebut.  

Jika kondisi ini bukan Ironi, maka kata apalagi yang bisa merepresentasikan bahwa orang yang butuh nilai guna suatu komoditas, harus membayar untuk memastikan dirinya tidak bisa mengakses nilai guna tersebut karena komoditas tadi dimiliki secara pribadi oleh orang yang tidak tinggal di apartemen dan  pribadi-pribadi itu, menghimpun surplus nilai tukar karena makin banyaknya kebutuhan akan tempat tinggal.

Masalah berikutnya dari nilai tukar dan nilai guna ada dalam permasalahan produksi dan realisasi dari nilai.  Jika kita memproduksi suatu barang, maka tidak akan bernilai jika tidak ada yang membutuhkan. Walaupun ada yang membutuhkan tapi tidak memiliki nilai tukar yang memadai maka barang itu menjadi tidak bernilai. Jika tidak ada nilai maka tidak ada orang/pengusaha yang bersedia memproduksi karena tidak ada profit/surplus yang bisa dihimpun. 

Sekalipun pengusaha melakukan penghimpunan profit/surplus dengan menggunakan teknologi dan menekan upah pekerja supaya bisa mendapatkan profit dan surplus menggunakan nilai tukar yang rendah dari sebuah komoditi, karena pekerja hanya mendapatkan lebih sedikit dari nilai tukar, maka sedikit yang mampu mendapatkan komoditi tersebut. Alhasil, komoditi yang diproduksi menjadi tidak memiliki nilai karena tidak ada yang beli atau merealisasi nilai dari sebuah komoditi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun