Mohon tunggu...
Ferdinand Lamak
Ferdinand Lamak Mohon Tunggu... Jurnalis - Orang Lembata

The Beatles, Ajax Amsterdam dan Oranje

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Atribut Politik Nodai Perayaan Suci Semana Santa di Larantuka

29 Maret 2018   12:49 Diperbarui: 30 Maret 2018   23:49 4242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Baliho politisi di salah satu sudut Kota Larantuka (Foto: Imon Lamakadu)

Jika ingin menjadikan Semana Santa menjadi tradisi warisan leluhur dengan nilai kesakralan yang tinggi maka sejatinya para penyelenggara dan Pemda lebih peka terhadap warna-warni politik seputar perayaan itu. Belum lagi kalau buat aturan tentang kampanye dan pemasangan atribut kampanye, sudah pasti itu pelanggaran.

-Ferdinand Lamak-

Kota Larantuka di ujung timur Pulau Flores, NTT sejak lebih dari lima abad silam sudah menjalankan tradisi Semana Santa (hari bae atau hari baik). Ritual devosional yang bertepatan dengan perayaan Jumat Agung itu hingga hari ini tetap terjaga kesakralannya dengan menghadirkan dua ikon utama yakni Tuan Ma dan Tuan Ana yang segenerasi dengan masuknya misionaris Katolik di wilayah ini.

Sejak Rabu Trewa, kemarin, kota ini sudah memasuki suasana berkabung. Tidak ada bunyi-bunyian yang bising, tak ada semarak kota sebagaimana biasanya, selain wajah duka penduduk kota dan peziarah dalam memasuki hari-hari penderitaan Yesus Kristus dengan puncaknya pada Jumat Agung, hari ketika Yesus wafat di kayu salib.

Nuansa devosional yang kental ini telah membuat kota ini menjadi destinasi utama para pendevosi dari berbagai belahan negeri maupun dunia. Rumah-rumah penduduk pun jadi penginapan untuk para peziarah yang datang, setelah okupansi hotel tak cukup untuk menampung banjir peziarah ini. Paradoks, puluhan ribu orang datang tanpa semarak dan tetap menjaga suasana berkabung untuk merenungkan sengsara dan penderitaan Yesus Kristus.

Sayangnya, pada tahun ini, tahun dimana Propinsi NTT sedang dan akan memilih gubernurnya, pun setahun menjelang pelaksanaan pemilihan umum serentak tepatnya pada 2019 nanti, suasana berkabung itu seperti menjadi momentum emas bagi para politisi. Masuk ke Kota Larantuka pada pekan ini, Anda akan menemukan deretan baliho para politisi, mulai dari calon gubernur, calon anggota DPR dari berbagai lapisan hingga calon anggota DPD RI, terpajang semarak. Ya, semarak meski kota sedang diliput suasana duka. 

Secara ekstrem, kehadiran atribut-atribut kampanye dalam bentuk ucapan selamat pekan suci atau Paskah adalah sebuah kondisi yang tidak etis. Dalam kata lain, atribut-atribut itu telah menodai perayaan Semana Santa yang suci dan kudus itu. Dalam analogi yang sederhana, jika Kota Larantuka adalah medium orang Katolik beribadat layaknya gereja, maka kehadiran atribut-atribut itu seolah masuk dan menghiasi dinding-dinding gereja dan sudah bisa dipastikan akan mengurangi kekudusan ritual dan doa umat.

Sebagai orang Flores Timur yang menyaksikan pemandangan yang semarak namun tak etis ini, saya menyesalkan tidak sensitifnya para politisi yang memasang atribut politik, apapun itu namanya. Mau ucapan Selamat Paskah (meskipun belum paskah dan masih dalam suasana duka) atau ucapan selamat memasuki pekan suci sekali pun, saya prihatin. Kalaupun tak ada sensitivitas dan nilai etis dari politisi-politisi ini, mestinya pihak penyelenggara dan pemerintah lebih ketat dalam hal seperti ini.

Publik akan lebih respek terhadap para politisi yang diketahui memiliki kepentingan dalam perhelatan politik 2018 atau 2019 ini dan datang sebagai peziarah, berdoa bersama umat dalam Semana Santa, tanpa embel-embel kampanye diri. Politisi seperti ini, bukan tak sanggup membiayai pembuatan dan pemasangan baliho ucapan selamat Paskah di area ibadat umat Katolik. 

Tulisan ini adalah sama sekali tidak bermaksud mendiskreditkan pihak manapun. Objektifnya adalah untuk menyadarkan semua pihak, terutama otoritas dalam penyelenggaraan Semana Santa untuk menjaga kesakralan prosesi ini dari warna-warni politik. Apalagi jika pemerintah Flores Timur hendak menjadikan Semana Santa sebagai salah satu ikon wisata religi di wilayah NTT.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun