Mohon tunggu...
Ferdhika EdvianMaulana
Ferdhika EdvianMaulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Universitas Pamulang

Tidak ada konten favorit saya selain momen-momen bersama kamu xixi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Max Havelaar: Bentuk Satire atau Nyinyir?

4 Juli 2022   22:00 Diperbarui: 4 Juli 2022   22:33 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Menguak tabir dari proses kreatif sang pemilik karya Max Havelaar bukan menjadi hal yang baru. Dalam dunia sejarah, penobatan 'Pahlawan' kepada Multatuli menjadi polemik yang belum terpecahkan sampai saat ini. Banyak ahli sejarah yang tidak setuju dengan glamoritas namanya di Indonesia, terlebih dengan embel-embel sebagai pahlawan kebebasan kolonialisme. Namun, tak sedikit pula, sejarawan yang setuju atas keagungan namanya dan jasanya yang luhung dalam kemerdekaan Indonesia.

Multatuli merupakan nama pena dari penulis kelahiran Belanda 2 Maret 1820, memiliki nama asli Eduard Douwes Dekker. Kata "Multatuli" sendiri diambil dari bahasa latin yang berarti "aku yang menderita". Penderitaan siapa yang mengantarkan Multatuli menulis buku Max Havelaar?, ya... tentu penderitaan masyarakat jajahan negeri tulip tersebut.

Anak seorang kapten kapal itu, pergi ke pulau Jawa pada tahun 1838 dan pada 1839 tiba di Batavia sebagai seorang kelasi yang belum berpengalaman di kapal ayahnya. 

Dengan bantuan dari relasi-relasi ayahnya, tidak berapa lama Eduard (panggilan kecil Multatuli) memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri (ambtenaar) di kantor Pengawasan Keuangan Batavia. 

Tiga tahun kemudian ia melamar pekerjaan sebagai ambtenaar pamong praja di Sumatra Barat dan oleh Gubernur Jendral Andreas Victor Michiels ia dikirim ke kota Natal yang saat itu terpencil sebagai seorang kontrolir. Karena sikapnya yang mengabaikan peringatan-peringatan dari atasannya, serta adanya kerugian kas pemerintahan Multatuli pun diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Gubernur Sumatra Barat Jendral Michiels. 

Dalam perjalanan karier selanjutnya,  Multatuli diangkat menjadi sekretaris residen di Manado akhir April 1849 yang merupakan masa-masa karier terbaiknya. 

Multatuli merasa cocok dengan residen Scherius yang menjadi atasannya sehingga ia mendapat perhatian para pejabat di Bogor, di antaranya karena pendapatnya yang progresif mengenai rancangan peraturan guna perubahan dalam sistem hukum kolonial. 

Kariernya meningkat menjadi asisten residen, yang merupakan karier nomor dua paling tinggi di kalangan ambtenaar Hindia Belanda saat itu. Multatuli menerima jabatan ini dan ditugaskan di Ambon pada Februari 1851.

Menjadi seorang asisten residen di bumi Hindia Belanda, mengantarkannya ke Rangkasbitung, salah satu kantorMenjadi seorang asisten residen di bumi Hindia Belanda, mengantarkannya ke Rangkasbitung, salah satu kantorcabang keresidenan Banten. Pada Januari 1856, Multatuli ditugaskan untuk menjadi asisten residen di Lebak. 

Multatuli melaksanakan tugasnya dengan cukup baik dan bertanggung jawab. Namun ternyata, dia menjumpai keadaan di Lebak yang sesungguhnya sangat buruk bahkan lebih buruk daripada berita-berita yang didapatnya. Bupati yang menjadi pemimpin pemerintahan dikalangan bumiputra dengan sistem hak waris telah memegang kekuasaan selama 30 tahun. 

Ternyata dalam keadaaan kesulitan keuangan yang cukup parah lantaran pengeluaran rumah tangganya lebih besar dari penghasilan yang diperoleh dari jabatannya. Dengan demikian, bupati Lebak hanya bisa mengandalkan pemasukan dari kerja rodi yang diwajibkan kepada penduduk distriknya berdasarkan kebiasaan. Dalam beberapa fenomena, Multatuli menemukan fakta bahwa kerja rodi yang dibebankan pada rakyat distrik telah melampaui batas bahkan menjumpai praktik-praktik pemerasan yang dilakukan oleh Bupati Lebak dan para pejabatnya dengan meminta hasil bumi dan ternak kepada rakyatnya. Lewat rasa keprihatinannya terhadap penderitaan yang dialami orang-orang pribumi di Rangkasbitung, Multatuli menulis surat kepada atasannya, residen C.P. Brest van Kempen dengan penuh emosi atas kejadian-kejadian di wilayahnya. Multatuli meminta agar bupati dan putra-putranya ditahan serta situasi yang tidak beres tersebut diselidiki. Atasannya, Brest van Kempen sangat terkejut dengan berita yang dikirimkan Multatuli sehingga mengadakan pemeriksaan di tempat, tetapi menolak permintaan Multatuli untuk memberhentikan jabatan Bupati Lebak dan menghukum bersama putra-putranya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun