Mohon tunggu...
Fera Nuraini
Fera Nuraini Mohon Tunggu... profesional -

Lahir di Ponorogo. Doyan makan, pecinta kopi, hobi jalan-jalan dan ngobrol bareng. Lebih suka menjadi pendengar yang baik.\r\n\r\nMampir juga ke sini ya, kita berbagi tentang BMI\r\nhttp://buruhmigran.or.id/\r\ndan di sini juga ya \r\nwww.feranuraini.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Eni Lestari, Sosok Inspiratif Buruh Migran Hong Kong

19 Mei 2015   21:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:49 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="Eni Lestari sedang memberikan orasi saat May Day"] [/caption]

Perawakannya mungil, kulitnya sawo matang seperti kebanyakan orang Jawa. Nama lengkapnya Eni Lestari Andayani Adi tapi lebih dikenal Eni Lestari, nama yang tidak asing lagi di kalangan buruh migran di Hong Kong. Perempuan asal Kediri, Jawa Timur, ini mulai mengadu nasib ke Hong Kong pada tahun 1999.

Seperti kebanyakan perempuan muda desa, Eni terpaksa merantau karena krisis dan kemiskinan. Harapan kedua orang tuanya untuk menyekolahkan anak sulung mereka ke perguruan tinggi pupus setelah mata pencaharian sebagai pedagang kecil di pasar hancur terlindas krisis keuangan Asia ketika itu. Pendapatan mengecil sementara beban hutang semakin besar. Tak tega membebani, Eni memilih bekerja. Harapan dia sederhana, membantu biaya hidup kedua adiknya, membayar hutang kedua orang tuanya dan menabung untuk biaya pendidikannya sendiri.

Namun kenyataan tak seindah harapan. Selama 5 bulan menjalani proses di penampungan di salah satu PJTKI di Surabaya, setibanya di Hong Kong Eni ternyata diupah dibawah standar (underpay), tidak diberi libur, dilarang berbicara kepada orang lain, dilarang memakai mesin cuci, berbagi kamar dengan anak laki-laki remaja dan dipekerjakan di pasar dan ini membuat Eni dihantui ketakutan setiap malam. Tujuh bulan menahan diri, akhirnya dia memilih untuk melarikan diri dan menuntut majikannya ke kantor Labor Deparment Hong Kong.

Eni di tampung oleh shelter Bethune House yang dikelola  Mission for Migrant Workers. Untuk pertama kalinya Eni menyadari ternyata banyak kasus pelanggaran dan kekerasan menimpa pekerja dari Indonesia, Filipina, Thailand, Nepal dan  India. Disini, Eni mulai belajar tentang hukum perburuhan di Hong Kong. Dia belajar dari kasusnya sendiri dan mendapat banyak pengalaman dari beragam kasus yang dialami sesama buruh migran di shelter. Pemahaman ini yang kemudian dibawanya ke lapangan Victoria Park, tempat kumpul BMI di hari libur, dan dipakainya untuk melayani dan mengorganisir sesama buruh migran yang membutuhkan.

Akhirnya, tanggal 1 Oktober 2000, Eni bersama sesama aktivis mendirikan Asosiasi Buruh Migran Indonesia (ATKI). Eni terpilih sebagai ketua dari tahun 2000 hingga 2011. Kiprah ATKI yang fokus pada pemberdayaan melalui pendidikan, pelayanan, kampanye advokasi dan kegiatan sosial telah berhasil melahirkan aktivis-aktivis tangguh dan ATKI berkembang di Makau, Taiwan dan Indonesia.

Eni sudah menginjakkan kaki di beberapa Negara belahan Eropa, Amerika, Asia, Afrika dan Amerika Latin  untuk menyuarakan isu buruh migran. Dia sering menjadi pembicara di forum internasional untuk menyuarakan apa yang selama ini menjadi keresahan para perempuan yang bekerja sebagai buruh migran di luar negeri.

Setiap Minggu, dimana buruh migran di Hong Kong bisa menikmati libur dan menghabiskan waktu di luar rumah majikan untuk mencari hiburan dan melepas lelah, Eni memilih untuk berkumpul dengan teman-teman organisasi dan  terus memberikan pendidikan soal hukum ketenagakerjaan. Eni berharap, semakin banyak BMI yang paham dan tahu akan hak-haknya sebagai pekerja rumah tangga, bisa menolong dirinya sendiri saat ada masalah dengan majikan atau  agen, dan yang lebih penting lagi mereka bisa membantu teman BMI lain yang membutuhkan bantuan.

Meski perawakannya mungil, tetapi  saat berorasi di depan ratusan sampai ribuan buruh migran, suara Eni mampu membuat orang-orang di depannya terhipnotis. Iya, Eni sering menjadi pembakar semangat saat para BMI melakukan aksi turun ke jalan untuk menuntut  perbaikan kondisi buruh migran baik itu di depan gedung Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI)  maupun di depan gedung pemerintahan Hong Kong.

Sosok Eni banyak menginspirasi para buruh migran di Hong Kong untuk mau bersuara atas ketidakadilan yang mereka alami saat bekerja di rumah majikan atau saat diperas oleh agen penyalur. Meskipun Hong Kong dikenal sebagai  ‘surga” bagi pekerja rumah tangga, namun kasus kekerasan yang dilakukan majikan, kasus pemerasan yang dilakukan agen penyalur masih terus ada sampai saat ini. Itulah yang membuat Eni terus semangat membagi ilmu yang dia dapat agar para BMI paham dan tahu akan hak-haknya sebagai pekerja.

Kasus Kekerasan PRT Migran di Hong Kong

Erwiana adalah contoh nyata, BMI yang kasusnya sempat menghentak dunia internasional awal tahun 2014 karena penganiayaan yang dia alami selama bekerja di rumah majikan yang bernama Law Wan Tung dan Eni menjadi salah satu orang yang menjadi tim  advokasi dan juga juru bicara untuk keadilan bagi  Erwiana (Justice for Erwiana) .

Erwiana sendiri berujar bahwa Eni Lestari adalah sosok yang sangat menginspirasi dirinya untuk bangkit dan menuntut semua hak-haknya yang selama bekerja di rumah majikan sama sekali tidak pernah digaji, tidak pernah libur dan yang lebih parah Erwiana sering disiksa dan tidak diberi makan layak. Trauma yang dialami Erwiana sedikit terbantu dengan pendekatan yang diberikan oleh Eni, bahkan sampai detik ini.

Masih menurut Erwiana, Eni Lestari sangat tulus dalam membantu buruh migran  dan tidak mengharapkan imbalan apapun saat kasus yang ditangani menang di pengadilan. Saat menunggu kasusnya, Erwiana sering galau dan kawatir serta dihantui rasa takut kalau-kalau kasusnya sampai kalah di pengadilan padahal prosesnya memakan waktu sangat lama. Tetapi Eni dengan telaten dan sabar terus meyakinkan Erwiana bahwa tidak ada perjuangan yang sia-sia asalkan kita mau sabar dan yakin atas tuntutan kita.  Itulah yang membuat Erwiana terus semangat untuk mengikuti proses demi proses persidangan kasusnya yang membutuhkan waktu setahun lebih sampai akhirnya mantan majikannya  dinyatakan bersalah dan kini telah dipenjara.

Erwiana hanya satu dari sekian banyak buruh migran yang pernah berhubungan langsung dengan Eni dan meminta bantuan Eni untuk ikut menangani kasus yang mereka alami.  Eni adalah pekerja rumah tangga biasa, sama seperti buruh migran lainnya yang juga bekerja di rumah majikan. Bedanya, Eni memanfaatkan waktu luangnya di sela-sela bekerja untuk membantu BMI yang terkena masalah. Dan saat ini, banyak sekali BMI yang mengikuti jejak Eni, membantu sesama BMI yang terkena masalah berbekal ilmu dan pengetahuan yang pernah Eni berikan.

Eni Lestari yang meskipun sudah lama hidup di Hong Kong tetapi dia tetap memegang teguh citra perempuan Indonesia. Tetap tidak melupakan tanah airnya dan terus berjuang agar para buruh migran pekerja rumah tangga tidak dianggap bodoh dan terbelakang dengan terus membagikan ilmunya, memberi semangat untuk bangkit dari keterpurukan dan tidak meratapi nasib yang diterima dan yang paling utama adalah tetap tidak melupakan tujuan awal bekerja ke luar negeri.

Saat saya tanya, adakah rasa capek dan bosan selama 15 tahun lebih berkecimpung di dunia buruh migran dan ingin membebaskan diri dari semua yang berhubungan dengan buruh migran? Dengan diplomatis Eni menjawab bahwa kadang rasa capek dan bosan itu ada, apalagi jika sudah berhadapan dengan penguasa yang berkepala batu yang sering tidak mendengar tuntutan yang disuarakan buruh migran.

“Tapi saya tidak pernah merasa jenuh mengorganisir dan melayani buruh migran, sebab saya hanya merasa, kalau saya tidak memakai pengalaman dan wawasan yang sudah saya dapatkan  untuk menolong dan mengarahkan buruh migran yang membutuhkan, lalu siapa lagi? Jadi ini murni panggilan hati.” Lanjutnya.

Meski dia menyadari bahwa banyak juga hinaan dan cacian serta ejekan menghampiri. Menurutnya, mereka yang mencaci dan menghina itu karena beberapa alasan.

“Pertama mereka bukan buruh migran dan tidak paham persoalan buruh migran, kedua buruh migran yang wawasannya terbatas dan tidak suka  belajar, ketiga para pendukung pemerintah dan menilai kritikan kami menyerang dan menjelekkan citra penguasa yang mereka pilih.” tambahnya.

“Saya bisa memaklumi mereka yang mencaci, saya tidak marah meski kadang jengkel khususnya kepada mereka yang sebenarnya kalah berdebat logika dan akhirnya menyerang membabi buta. Jujur, sikap seperti itu menunjukkan orang-orang tersebut tidak tahu bagaimana menghargai perbedaan dan demokrasi.” tuturnya.

Menurut Eni, hal terberat baginya adalah saat menerima fakta bahwa dia harus menjadi buruh migran dan memupuskan cita-cita untuk kuliah dan menjadi orang berpendidikan. Namun dia  tahu dan sadar kalau tidak belajar menerima fakta ini, maka dia tidak akan bisa move on dan semua kesempatan emas akan hilang.

“Saya berhenti menyalahkan diri sendiri dan mulai mencari cara mengembangkan potensi pribadi untuk membantu yang lain. Ada kepuasan batin yang tak terhingga ketika saya berhasil membantu yang lain. Saya hanya punya prinsip, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini jika kita punya tekad, mau belajar dan bekerja keras.” Tambahnya lagi.

Pada dasarnya, perempuan adalah makhluk sosial dan jauh di lubuk hati kita,  kita mempunyai rasa peduli kepada sesama orang yang ada di sekitar kita. Namun kita sering "membunuh" rasa peduli itu karena kita takut disalahkan, dikritisi dan diisolasi keluarga dan masyarakat. Kenapa itu kita sering memilih diam? Para perempuan migran sangat perlu menyadari hal ini dan mendobraknya secara perlahan dengan aktif membantu sesama dan berorganisasi. Tanpa itu, sekuat apapun perempuan, dia akan mudah dipatahkan.

[caption id="attachment_418660" align="aligncenter" width="300" caption="Eni Lestari saat berorasi di depan KJRI Hong Kong"]

1432043572423785197
1432043572423785197
[/caption]

Eni Lestari adalah contoh nyata bagaimana perempuan Indonesia dari kampung dan merantau ke Negara lain dengan bekal seadanya namun kini mampu menggerakkan ratusan anggotanya, menolong banyak sekali buruh migran dengan berbagai macam kasus untuk tetap semangat bangkit melawan segala bentuk ketidakadilan dan penindasan.

Selama ini, Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Indonesia selalu dianggap bodoh dan terbelakang, bisanya hanya manut dan tidak berani melawan atau nerimo ing pandum. Eni adalah satu diantara sekian banyak TKW yang tidak bisa dianggap bodoh karena mampu mendobrak penilaian tersebut dengan caranya sendiri, yakni terus belajar dari pengalaman yang didapat dan berbagi ilmu ke tenaga kerja lainnya dan terus menularkan ilmunya agar tidak ada lagi TKW yang dianggap bodoh dan terbelakang.

Saya termasuk salah satu dari sekian banyak buruh migran di Hong Kong yang belajar banyak dari Eni Lestari.

[caption id="attachment_418662" align="aligncenter" width="300" caption="Saya dan Eni Lestari, darinya saya banyak belajar soal buruh migran dan banyak hal lainnya"]

1432043655854036056
1432043655854036056
[/caption] Jabatan yang   diemban Eni Lestari:

1. Ketua International Migrant Alliance (IMA), aliansi buruh migran akar rumput yang berasal dari 32 negara dari Asia, Afrika dan Amreika Latin , terdiri dari 120  organisasi, menjabat tahun 2008 sampai sekarang.

2. Ketua Persatuan BMI Tolak Overcharging (PILAR) tahun 2007 sampai sekarang. PILAR adalah aliansi dari 25 organisasi buruh migran di Hong Kong yang mengangkat isu soal tingginya biaya penempatan yang menyebabkan BMI terjerat hutang ke pihak agen dan PJTKI

3. Juru bicara Asian Migrants Coordinating Body (AMCB) tahun 2005 sampai sekarang. AMCB adalah aliansi pekerja rumah tangga dari Indonesia, Filipina, Thailand, Sri Langka, Nepal dan Hong Kong.

4. Anggota Global Alliance Against Traffic in Women (GAATW) atau Dewan Aliansi Global Melawan Perdagangan Perempuan 5. Member of Labour and Migration Organizing Committee of Asia Pacific Mission for Migrants (APWLD)

7. Koordinator Jaringan Tenaga Kerja Indonesia - Hong Kong (Jaringan BMI Cabut UUPPTKILN No. 39/2004 atau JBMI-HK)

8. Juru Bicara, Komite Keadilan untuk Erwiana dan All Komite Pekerja Rumah Tangga Migran

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun