Â
Tinggal hitungan hari lagi nih gesss, hari raya Idulfitri hadir di depan mata. Mungkin kamu sudah mulai bersiap-siap alias packing segala hal untuk berangkat mudik. Dari yang namanya angpao THR untuk dibagikan di sana, pakaian selama di sana, hampers, lebaran, tiket perjalanan atau kendaraan untuk mudik, hingga perintilan lainnya yang akan dibawa.
Mudik yang kurang lebih pengertiannya adalah kembali ke tanah kelahiran dari tanah rantau, menjadi momen yang dirindukan karena setelah lama berkutat dengan kerja keras di perantauan, akhirnya bisa kembali membersamai dengan keluarga di tanah kelahiran.
Tradisi turun temurun itu, sudah berlangsung dari semenjak saya belum lahir sampai sudah gede seperti sekarang ini hehe. Namun siapa nyana, kebiasaan mudik juga bisa memberikan jejak dosa.
Loh kok bisa?
Bisa. Jejak dosa itu bernama jejak karbon (emisi karbon).
Emisi karbon merupakan pelepasan karbon (CO2) ke atmosfer. Dampak yang paling terasa akibat emisi karbon, salah satunya adalah perubahan iklim seperti yang kita rasakan sekarang ini.
Bila dahulu belajar IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) kita akan mudah mengingat bulan yang berakhiran -ber akan terjadi musim hujan, tetapi dengan kini, yang mana musim kerap berubah-ubah, dan seakan tidak bisa diprediksi kapan hujan dan kemarau. Maka dari itu, jejak karbon ini harus kita minimalkan, khususnya ketika pergi mudik.
Saya pernah mendengar ada jokes, "Buat dosanya di kota, maaf-maafannya di kampung halaman", nah sepertinya itu memang benar adanya.
Kita yang mulai berangkat mudik dari rumah, lalu sepanjang perjalanan, hingga sampai di kampung halaman, jadilah maaf pun tersampaikan karena ada jejak karbon yang menggelayuti.