Mohon tunggu...
Feni Mardiani
Feni Mardiani Mohon Tunggu... Guru - Guru di SMP Ciledug Al-Musaddadiyah Garut

Assalamualaikum, nama saya Feni Mardiani. Hobi saya membaca. Saya termasuk ke dalam orang yang pendiam dan lebih senang menghabiskan waktu di rumah. Topik/Konten yang saya sukai banyak, selama topik/konten tersebut tidak mengandung unsur negatif.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketenangan Jiwa Melalui Dzikir

3 Oktober 2022   17:37 Diperbarui: 3 Oktober 2022   17:39 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kata dzikir dalam berbagai bentuknya ditemukan dalam Al-Qur'an tidak kurang dari 280 kali. Kata dzikir pada mulanya dugunakan dalam bahasa Arab dalam arti sinonim lupa. Dzikir juga pada mulanya berarti mengucapkan dengan tidak atau menyebut sesuatu. Makna ini kemudian berkembang menjadi "mengingat" karena mengingat sesuatu seringkali mengantarkan kepada tidak menyebutnya.

Secara etimologi, kata dzikir merupakan masdar (kata kerja benda) dan kata kerja "dzakara" yang artinya mengingat, memperhatikan, mengenang, mengambil pelajaran, mengenal atau mengerti (Manshur, 1990: 1507). Dalam kehidupan manusia, usur ingat sangat dominan karena merupakan salah satu fungsi intelektual. Namun dalam uraian ini kata dzikir yang dimaksud adalah "dzikrullah" atau mengingat Allah.

Sebetulnya dzikir sudah dikenal semenjak kelahiran Islam. Dzikir yang pertama kali diajarkan oleh Rasulullah kepada umatnya adalah kalimat laa ilaha illalah. Sebuah kalimat yang membuat telinga masyarakat jahiliyah merasa terganggu, panas, dan panik. Tatanan spiritual nenek moyang yang telah matang, tiba-tiba menjadi porak poranda. Kalimat-kalimat yang dianggap suci dan selalu diagung-agungkan yaitu latta dan uzza telah kehilangan pamornya. Muhammad dianggap telah melecehkan keberadaannya dengan menggantinya dengan kalimat laa ilaha illallah. Rasulullah hadir di bumi ini sebagai sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Ketenangan berasal dari kata "tenang" dan kemudian diberi imbuhan ke-an, ketenangan secara etimologi berarti menatap, tidak gusar, yaitu suasana jiwa yang berada dalam keseimbangan sehingga menyebabkan seseorang tidak terburu-buru atau gelisah. Tenang juga berarti diam, tidak berubah-ubah, tidak gelisah, tidak susah, tidak gugup dan cemas betapa pun keadaan gawat, tidak tergesa-gesa (Poerwadarminta, 2008: 342).

Sedangkan kata jiwa dalam bahasa inggris disebut psyche yang berarti jiwa, nyawa atau alat untuk berfikir (Irwanto, 1991: 3). Sedangkan dalam bahasa Arab jiwa sering disebut dengan " al nafs". Oleh Imam al-Gazali dimaknai bahwa jiwa adalah segala hakekat kejiwaannya, itulah pribadi dan zat kejiwaannya (Al-Gazali, 1984: 13).

Adapun jiwa dalam Al-Qur'an memiliki banyak sifat, yakni menyuruh kepada kebaikan dalam Al-Qur'an Surah Yusuf ayat 53, menyesali dalam Al-Qur'an Surah Al-Qiyamah ayat 2, tenang dalam A-Qur'an Surah Al-Fajr ayat 27-30, berubah-ubah dalam Al-Qur'an Surah Asy-Syams ayat 7-10, mampu melakukan tugas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 286, mudah untuk melakukan kesalahan dalam Al-Qur'an Surah Al-Ma'idah ayat 30 (Priyatna, 2017). Sedangkan ayat Al-Qur'an yang menyebutkan sifat jiwa yang tenang, yakni:

"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku." (QS. Al-Fajr: 27-30)

Imam Al-Qurthubi (Priyatna, 2017) menjelaskan bahwa yang tenang ialah yang tenang dan yakin. Yakin bahwa Allah adalah Tuhannya dan tunduk kepada Allah. Imam Mujahid menjelaskan bahwa tenang merupakan sikap ridha kepada ketentuan Allah Yang Maha Mengetahui. Ibnu Abbas menerangkan bahwa tenang yang dimaksud ialah tenang dengan berharap pahala-pahala hanya dari Allah. Sayyid Quthb juga menjelaskan bahwa ketenangan jiwa ialah "tenang dalam kebahagiaan dan kesengsaraan, dalam keluasan dan kesempitan, dalam nikmat dan dalam ketiadaan nikmat. Tenang, maka tidak ragu; tenang, maka tidak menyeleweng; tenang, maka tidak akan tersesat di jalan; dan tenang, maka tidak akan kebingungan di hari penuh dengan keguncangan dan menakutkan (hari Kiamat)."

Sedangkan Abd Al-Qadir Jailaani menjelaskan bahwa orang yang tenang jiwanya ialah orang yang selalu membekali diri di dunia untuk kehidupannya di akhirat dengan ketakwaan dan selalu menjauhkan diri dari perbuatan maksiat. Mereka akan selalu ridha akan ketetapan Allah. Saat senang maupun susah, hati mereka tidak akan terguncang, sebab mereka tidak peduli terhadap kehidupan di dunia yang haus kekuasaan dan kemewahan. Mereka selalu mengutamakan kehidupan akhirat yang kekal dan selalu menjalankan amal-amal sholeh, yang akan mendekatkan diri mereka kepada Allah. Hingga akhirnya mereka akan mendapatkan derajat yang tinggi serta selamat dari siksa dan memperoleh kenikmatan ruhani, yaitu ketenangan jiwa (Saripah dkk, 2017).

Manusia ketika mengalami problematika kehidupan tentunya harus kembali kepada Allah. Dengan melakukan shalat dan berdzikir, sehingga akan merasakan semakin dekat dengan Allah. Sebaliknya, ketika mencari pelarian dengan melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama, seperti: narkoba, minum-minuman keras, dan lain-lain, justru tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan akan muncul masalah yang baru dan akan semakin jauh dari Allah (QS. Al-Ma'idah [5]: 91).

Artinya: "Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun