Mohon tunggu...
Fendi Utomo
Fendi Utomo Mohon Tunggu... Koki - simpel

Insan awam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Satu Suro dan Tradisi Besih Sendang di Dusun Nyamplung, Temanggung

1 Juli 2020   15:26 Diperbarui: 1 Juli 2020   15:23 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebuah aforisme yang dipenuhi dengan sejuta makna dan mistis didalamnya. Yaah.... siapa sih yang nggak kenal dengan satu suro, terkhusus lagi orang jawa, hmmmm pasti sudah mendarah daging sejak kecil mengenai konsep apa itu satu suro. Fyi, bahkan bagi sekalangan orang, malam satu suro menjadi sebuah hari keramat, hari yang tepat untuk mengurangi maksiat, hari yang agung untuk mengurangi rasa beban dipunggung, hari yang suci untuk selalu bermuhasabah diri. Begitu anggapan keramat tentang satu suro, dan saya sepakat sih, karena memang menjadi sebuah otoritas yang diselimuti kebaikan sebenarnya.

Di kampung saya, tepatnya di bulan suro, semua hajatan diharamkan (dilarang secara adat maksudnya), banyak balak katanya, menimbulkan madorod mitosnya dan yaa semua masyarakat menyepakati akan hal tersebut. Selama saya hidup di desa saya ini, memang benar tidak ada yang namanya hajatan dibulan suro mulai dari pernikahan, khitanan, dan hajatan lainya, bahakan membangun rumah atau membongkarnya pun sebaiknya ditunda terlebih dahulu. Entah ini baik atau buruk, semua terserah kalian yang menilai, ini hanya adat yang ada di kampung saya.

Hari itu saya bersama teman saya Bejo Utomo dan warga masyarakat nyamplung pereng kulon lainya melakukan sebuah tradisi tahunan, tradisi turunan, tradisi nenek moyang, yang menurut saya ini tradisi yang sangat unik dan sangat menyenangkan.

Sejak nenek moyang pembubak alas dusun kami, sampai detik pagi satu suro kala itu, tradisi ini masih tetap terjaga, masih berlangsung dengan segala keistimewaan dan keunikan lain daripada yang lain. Tradisi ini dikenal dengan istilah mbedah kali (lebih populer dengan istilah sendang). Sendang di desa kami ini hanya boleh dibedah pada dua waktu, yakni pada satu suro dan kalau ada orang mitoni atau tingkep. Selebihnya jangankan membedah sendang tersebut, saya sendiri jika disuruh mandi di sendang tersebut sendirian tidaklah berani meskipun pada siang hari. Sadis kan? Yaaaa begitulh kira-kira.

Sekitar kurang lebih 50 orang, semua membersikan setiap sudut-sudut kotor yang ada di sendang dengan ubo rampenya. "opo meneh de'e isih enom isih jomblo, kudu semangat sing resik-resik ke, men ndang oleh jodo" ungkap salah satu tetangga saya. "gundule lek, meh nggolek neng ndi jodone" batin saya, yang kemudian terekspresikan dengan tawa. Di atas pancuran tak luput banyak sesajen dan bunga-bunga sisa ritual semalam yang tentu tak dapat saya ceritakan bagaimana kronologis yang terjadi.

Setelah dibedah penutup di blumbang tadi, mulailah anak-anak kecil nyegur dengan membawa seser karo wudoh ra nggo klambi, "nyong oleh kutes, nyong oleh kutes" teriak bocil-bocil itu, sejenak membuat saya dan teman saya berhalu tentang tentang masa kecil kita, masa yang kala itu penuh dengan bahagia, diisi canda dan tawa, jomblo atau tidak tak dihiraukannya, yay a masa itu.  kembali kusenyumi apa yang mereka lakukan. "Sungguh beruntung kalian nak, masih jauh dari gadget yang membuat kalian berada di dunia maya dan tidak kenal sawah dengan sekaga kealamiannya" batinku kembali.

Saat itu jatahku adalah membersihkan kolam laki-laki yang bohol, "udod, guyon, ece ece an tidak pernah luput dari tiap-tiap detik kami"

"Wes resiik, wess leren ndul lek bancak'an" Yaah setelah mendengar ucapan itu dari mbah RT, kami pun bersih bersih dan pulang mengambil makanan untuk bancaan bersama di kali yang keramat ini. Sekedar meluruskan bagi kalian yang suka menuduh tanpa mengetahui sangkan paraning dumadi. Bancaan di kali ini dilakukan sebagai wujud rasa syukur kepada tuhan yang maha agung karena dalam kurun waktu satu tahun ini, sendang di desa kami tidak pernah mati, air melimpah, subur menjadi kewajiban tanah, sehingga warga pun tak merasakan susah. Jadi tidak ada unsur kesyirikan sedikitpun didalamnya.

Akhirnya kegiatan pagi itu kami tutup dengan makan bersama, icip-icipan lawuh, jangan iwak, jangan endok, jangan emi, jangan gerih, komplit pokok'e lurs. Tuhan terimakasih telah melahirkan kami di lingkungan yang jauh dari kericuhan. Semoga yang ricuh segera sembuh.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun