Mohon tunggu...
𝔽𝕖𝕟𝕕𝕣𝕒 ℝ𝕖𝕤𝕥𝕪𝕒𝕨𝕒𝕟
𝔽𝕖𝕟𝕕𝕣𝕒 ℝ𝕖𝕤𝕥𝕪𝕒𝕨𝕒𝕟 Mohon Tunggu... Guru - Ilmuwan

Suka nulis² yang ndak penting nyambi mulang siswa² yatim.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bahaya Laten Teknologi

15 November 2021   10:26 Diperbarui: 15 November 2021   10:32 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Genap satu tahun pembelajaran daring dilakukan oleh mayoritas siswa di seluruh negeri. Ada salah satu siswa curhat ke ibunya. Bu, setiap hari aku belajar pukul 07.00 hingga pukul 12.00 hanya untuk beberapa mata pelajaran. Kemudian guruku memberikan materi pelajaran dan latihan soal melalui aplikasi Whatsapp dan Zoom. Awalnya aku suka bu, namun tidak lama aku bosan. 

Mengapa guru-guruku hanya begitu begitu saja? Ngasih materi, soal, udah selesai. Tapi kan ada jeda untuk bertanya nduk ke gurumu? Sahut ibunya yang mulai cemas. Tetap bu, tidak bisa nyambung sama pelajarannya karena keterangan yang diberikan hanya berupa teks.

Kira kira seperti itu kecemasan yang tetap ada selama pandemi terjadi. Pandemi yang seakan datang bertubi-tubi memaksa pelajar untuk pandai beradaptasi dengan situasi baru. Moratorium pemerintah yang melarang pembelajaran secara tatap muka dianggap solusi praktis untuk menjaga generasi-generasi emas Indonesia. Menjaga lebih baik dari pada mengobati. 

Kiranya hal itu yang pantas disematkan atas upaya preventif pemerintah dalam menghadapi pandemi. Namun, kita lupa akan konsekuensi sosial yang akan dihadapi nantinya. Moratorium pemerintah selamanya dianggap yang paling ideal terkait pendidikan saat masa pandemi. Ideal secara kesehatan namun tidak secara mental. Mental pelajar yang terbentuk saat pandemi pun juga penting dan harus seimbang. Namun kenyataanya malah terbalik.

Ruh belajar tidak ada

Belajar disaat pandemi merupakan hal baru. Lebih popular dengan sebutan daring. Ada anekdot yang berkembang di masyarakat bahwa daring memiliki arti "mendadak miring". 

Secara harfiah, belajar daring merupakan kegiatan belajar yang dilakukan menggunakan koneksi internet. Melalui belajar daring, siswa diharapkan mendapat ilmu yang sama dengan belajar tatap muka atau bahkan mendapat ilmu lebih. Hal tersebut dianggap lebih rileks karena kegiatan belajar-mengajar dilaksanakan di rumah sendiri. Apakah demikian ? Tidak!.

Siswa malah tidak menemukan kesinambungan antara materi yang disampaikan melalui daring dan teori yang didapatkan hanya melalui pembagian merata di grup WA. 

Siswa cenderung monoton dalam pembelajaran. Sifat pembelajaran yang hanya terpusat pada guru dan ditunjang dengan komunikasi satu arah, cenderung menciptakan kejenuhan saat proses belajar mengajar dan mengakibatkan siswa mendadak miring. Mulai dari gawai dan etika pun juga mendadak miring. Memang etika dalam perkembangannya di era modernisme seperti saat ini menempati posisi yang sangat penting dalam kehidupan.

Dapat kita lihat ketika siswa menggunakan gawai pada saat proses pembelajaran sedang berlangsung. Idealnya gawai digunakan untuk mempermudah kegiatan pembelajaran daring. Namun, hal itu tidak terlaksana dengan baik. Sering kali siswa menganggap remeh pembelajaran. Hal itu terbukti dengan intensitas kehadiran selama kegiatan pembelajaran. Meskipun upaya serius sudah dilakukan seperti memberikan G-form pada setiap kesempatan namun tetap saja nihil.

Siswa sudah melabeli bahwa pembelajaran daring sangat tidak menyenangkan. Sangat monoton dan tidak ada tantangan. Tentu ini adalah ancaman yang serius. Ancaman yang datang dari upaya yang kurang terukur dari pemerintah dan berimbas pada ruh pembelajaran separo hilang. Tapi bagaimanapun juga yang namanya ruh itu kan tidak bisa separo-separoh , kalau separo jadinya ya pendidikan kita bakal ngigau

Pembelajaran menjadi timpang

Sebagai guru professional, haram hukumnya melihat perubahan kondisi sebagai hambatan. Justru perubahan kondisi lingkungan pembelajaran menjadi tantangan untuk membuktikan bahwa kretifitas itu mahal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun