Mohon tunggu...
𝔽𝕖𝕟𝕕𝕣𝕒 ℝ𝕖𝕤𝕥𝕪𝕒𝕨𝕒𝕟
𝔽𝕖𝕟𝕕𝕣𝕒 ℝ𝕖𝕤𝕥𝕪𝕒𝕨𝕒𝕟 Mohon Tunggu... Guru - Ilmuwan

Suka nulis² yang ndak penting nyambi mulang siswa² yatim.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Imunitas Guru Pasca PKKS

8 Februari 2021   14:55 Diperbarui: 8 Februari 2021   15:09 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan

Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia

Meminjam istilah Guru kalau diblejeti  secara filosofis memiliki arti orang yang pantas untuk diteladani. Bahkan jika ditinjau dari suku kata, maka kata guru terdiri dari dua suku kata yakni Gu dan Ru. Jika diartikan Gu memiliki arti penghancur dan Ru memiliki arti kegelapan. Maka kedua makna tersebut dapat diartikan sebagai seseorang yang mampu mengubah ketidak-tahuan akan sesuatu menjadi paham akan sesuatu. Tidak tahu menjadi belum paham dan berhulu pada paham, merupakan rangkaian panjang proses pengajaran yang dilakukan guru. 

Pengajaran yang tentu membutuhkan konsistensi sikap dan kesesuaian teori. Sehingga untuk membuktikan bahwa terlaksananya konsistensi sikap dan kesesuaian teori telah ditunaikan oleh guru atau belum dapat dilihat dari penilaian yang terukur dan sistematis.

Salah satu bentuk penilaian yang terukur dan sistematis adalah Penilaian Kinerja Kepala Sekolah (PKKS) yang memang bukan hal baru di dunia pendidikan. Hal tersebut merupakan syariat yang harus dilaksakanan guna terlaksananya tugas pokok, fungsi, serta tanggung jawab kepala sekolah. Implementasinya harus sesuai, terukur, dan tepat sasaran sehingga terhindar dari kesan yah sudah, karang saja yang penting ada! Atau lebih familiar dengan sebutan formalitas.

Permasalahan Umum di sekolah

Kalau menilik Pedoman Penilaian Kinerja Kepala Sekolah/Madrasah, dinyatakan bahwa penilaian kinerja merupakan sistem formal yang digunakan untuk menilai kinerja secara periodik, dan hasilnya dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam rangka pengembangan, pemberian penghargaan, perencanaan, pemberian kompensasi, dan motivasi. 

Secara tertulis penilaian memang hanya berkutat pada angka saja. Angka yang sebenarnya rawan tingkat manipulasi untuk mencapai target tertentu. Namun, meskipun telah disadari banyak pihak, kita tetap melaksanakan proses penilaian tersebut. 

Pemilik serta pendiri Highscope Indonesia, Antarina menyampaikan bahwa sistem penilaian berbasis angka sudah tertinggal 100 tahun tapi sulit sekali bagi kita untuk meninggalkan sistem penilaian menggunakan angka 0-100," ujarnya.

Penggunaan sistem penilaian angka 0 – 100 pun juga dialami siswa. Kumpulan angka yang dibarengi dengan deskripsi singkat pencapaian siswa tersebut seringkali menjadi acuan masuk sekolah, perguruan tinggi, dan profesi favorit. Sehingga siswa merasa belajar tak lagi asik. “Kecenderungan menyepelekan tugas pun ada”, kata Abdul Kholis, M.Pd selaku pengawas sekolah SMA ICMBS ketika menanggapi perilhal metode pembelajaran blanded.  

Hal tersebut memang tidak salah karena tujuan dari belajar adalah menjadi yang terbaik dan paling baik. Terbaik dan paling baik diukur menggunakan indikator nilai dan kemapanan dalam mendapatkan pekerjaan. Fatalnya adalah jika guru dan satuan pendidikan berupaya mengejar target ketuntasan minimal yang dibebankan, padahal secara kemampuan masih belum bisa mencapainya.

Sepakat kita mengatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang sakral dalam sistem pendidikan kita.  Kondisi tersebut perlu ditilik kembali bahwa nilai yang berupa angka bukanlah satu-satunya indikator keberhasilan pendidikan. “Nilai tidaklah begitu penting, yang utama adalah karakter,”ucap Dra. Ernesta Dwi W. yang kebetulan menjadi pengawas dalam kegiatan PKKS dan dilaksanakan di sekolah Insan Cendekia Mandiri Boarding School. 

Oleh karena itu jika orientasi pendidikan kita masih berkutat pada angka, maka sadar atau tidak yang kita inginkan tidak lebih hanya pada aspek aspek kuantitatif saja, sedangkan secara kualitatif belum terlaksana. Akibatnya adalah akan disorientasi penilaian di dunia pendidikan.

Bentuk manajerial yang ideal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun