Mohon tunggu...
Mas Haidar
Mas Haidar Mohon Tunggu... Lainnya - pemimpi layaknya Bung Karno

bukan buzzer, mung seneng komen.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kuasa Pancasila

19 Juni 2020   14:17 Diperbarui: 1 Juni 2021   12:38 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti pelaut dengan kapalnya yang akan terus berlayar demi mencapai destinasinya, maka dengan segenap jiwa raga ia akan menyelesaiakan setiap halang rintang yang ada. Seperti halnya negara kita tercinta, meski hampir seabad berlayar dengan pelaut yang silih berganti menerjang halang rintang, tapi tetap saja pelabuahn emas kita masih tak nampak jua. Entah karena negara kita berhenti berlayar, atau mungkin negara kita berjalan melambat atau memang jarak yang perlu kita tempuh amatlah jauh, atau bahkan negara kita rusak di tengah perjalanan sehingga butuh waktu untuk perbaikan, atau parahnya, negara ini benar-benar rusak, terombang ambing dalam lautan globalisasi dan akhirnya karam ke dasar jurang kehancuran.

Tentunya miris, jika satu dari beberapa gambaran di atas benar-benar menimpa negara kita ini, terlebih kurun waktu belakangan ini banyak di luar sana mereka yang mengaku sebagai tokoh nasional justru membumikan wacana bahwa bangsa dan negara kita sedang diambang kehancuran, bahkan rasa-rasanya pesimistis terhadap keberhasilan negara kita sudah mengalir dalam denyut nadi mereka. Tapi satu yang pasti bahwa tidak ada satu pun penumpang kapal di dunia ini yang ragu akan keberhasilan kapalnya untuk berlayar sampai tujuanya, sekalipun penumpang kapal Titanic. Begitu pula kita sebagai warga negara, yang dalam hal ini turut serta menjadi  inti dari kapal besar tersebut, sehingga selayaknya kita loyal terhadap negara ini, serta memastikan slot bahan bakar motor pengerak terisi penuh dengan bahan bakar semangat juang, gotong royong, kebersamaan, dan optimisme yang tinggi.  

Setidaknya patut kita syukuri bahwa asumsi negara kita akan gagal di tengah jalan atau bahkan karam sebelum mencapai tujuan, bisa saya katakan kecil kemungkinannya. Mengapa saya katakan demikian, sebelum menuju ulasan jawaban yang akan saya utarakan, setidaknya penting bagi kita untuk mengingat dan memahami bahwa negara kita tidak ujug-ujug berdiri dengan tanpa kesiapan yang matang, atau bahkan dalam beberapa smber dikatakan bahwa negara kita ini berdiri hasil dari pemberian Jepang. Kenyataan justru berkata sebaliknya, persiapan menuju negara yang merdeka dan berdaulat sangatlah panjang dipenuhi perjuangan baik militer maupun nirmiliter, baik materil maupun moril. Bukti empiris yang kebenaranya teruji dan yang paling penting serta kita rasakan adalah keberhasilan para tokoh pejuang awal kemerdekaan yang mampu meyakinkan dunia bahwa kedudukan Negara Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat penuh atas wilayahnya, baik de facto maupun de jure benar adanya.

Memulai jawaban ini, alangkah baiknya kita awali dengan sebuah analogi yang mungkin bisa mengantar kita lebih dalam untuk memahaminya. Seorang insinyur ketika ia memutuskan untuk membuat sebuah kapal megah nan canggih, sudah sewajarnya ia akan membuat cetak biru (blue print) sebagai pijakan yang mengandung cara, maksud dan tujuan dari apa yang ia bangun. Sehingga dalam pengerjaannya akan sesuai dengan cara, tujuan dan maksud yang diimpikan. Fakta sejarah setidaknya ikut membenarkan analogi yang saya berikan, sebagaimana kita ketahui mereka para founding fathers bangsa kita sejatinya benar-benar memikiran cetak biru dari negara ini. Berbagai kajian, penelitian dan analisis yang komperhensif serta berkesinambungan mengenai catak biru negara ini merupakan gelaran meriah layaknya final piala dunia. Bayangkan saja bagaimana isi kepala dari tiap bapak bangsa saling dikeluarkan, diadu, diperdebatkan, didiskusikan, bahkan dimentahkan demi mencapai titik temu yang benar-benar selaras dan harmoni untuk bisa dijadikan cetak biru yang sempurna untuk negara yang memiliki tingkat heterogenitas yang sangat tinggi.

Singkat cerita, titik temu yang meraka dambakan akhirnya terwujud, tepatnya pada pelaksanaan sidang BPUPKI 1 Juni 1945, Ir Soekarno, satu dari tiga tokoh yang berkesempatan merumuskan inti catak biru Bangsa Indonsia, mengemukakan gagasan Pancasila sebagai cetak biru Negara Indonesia, yang kemudian secara konsesnus diterima oleh panitia perumus hukum dasar negara dan dijadikan sebagai staatsfundamentalnorm dalam hukum di Indonesia. Bahkan lebih jauh lagi Ir Soekarno menyatakan bahwa Pancasila adalah philosopische grondslag atau pandangan hidup masyarakat Indonesia, sehingga secara langsung terejawantahkan sebagai satu-satunya ideologi yang pantas dan layak diyakini oleh seluruh warga negara Indonesia. Dalam perjalanannya, Pancasila yang mengalami pemaknaan cukup luas sebagai falsafah dan ideologi mutlak pada negara ini, tidak serta merta membuatnya mudah untuk diimplementasikan secara masif kepada khalayak. Polemik berkepanjangan tentang Pancasila tetap saja muncul, hal ini di karenakan keagungan dan kesakralannya, sehingga membuat penafsiran terhadap Pancasila bisa merusak jati diri dari Pancasila itu sendiri.  

Setidaknya sejarah mencatat banyak sekali kisruh yang terjadi dalam proses inflintrasi dan indoktrinasi Pancasila pada segenap komponen nadi negara ini, bahkan pada masa orde lama, kala Bung Karno memimpin negeri ini, pun tak luput dari polemik tersebut. Bukankah Bung Karno adalah penemu Pancasila? sehingga sangat mustahil bagi beliau untuk terjebak dalam polemik yang ada. Tapi apa daya kenyataan justru berbeda, Pancasila yang diharapkan benar-benar mampu menjadi daya dorong negara untuk bergerak maju dari ketepurukan, justru mendapat penafsiran yang sentralis lagi subjektif pada tindakan politis yang diambil Bung Karno kala ia memimpin, seperti adanya TUBAPIN (Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi), yang sebagian besar adalah pidato-pidato Bung Karno setiap tanggal 17 Agustus, juga MANIPOL (Manifesto Politik), kemudian ada gagasan NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) yang mana hal-hal tersebut merupakan buah dari penafsiran Pancasila oleh sang penemunya, namun secara terang-terangan juga dianggap sebagai legalitas atas pola politik yang beliau ambil selama masa kepemimpinannya. 

Namun pada akhirnya semua penafisran tersebut gagal melanggengkan dan memuluskan kepemimpinan beliau; sebab tafsiran inilah yang mengakibatkan Bung Karno harus meletakan kekuasaanya sebagai Panglima Besar Revolusi dan presiden seumur hidup. Terlebih petaka Gestapu 65 yang didalangi PKI, salah satu tiang penyangga kekuasan Bung Karno dan salah satu dari tafsiran Pancasila melalui gagasan NASAKOM semakin membuat Bapak Proklamator tersebut kehilangan taji kuasanya. Karir politiknya berakhir tragis. Dengan lenyapnya Bung Karno dari tampu kekuasan, maka lenyap pula rezim orde lama dibawah kuasanya beserta segala doktrin, gagasan dan tafsiran Pancasila yang sempat ia gaung - gaungkan.

Lain Bung Karno lain pula Pak Harto, The Smiling General. Pemimpin negeri ini pada era orde baru yang bahkan jika tak ada tuntutan massa pada 1998-1999, maka bukan tidak mungkin ia akan langeng memimpin hingga akhir hayatnya. Meskipun pengangkatanya sebagai presiden menuai banyak kontroversi dan misteri politik yang tak kunjung usai, tapi tetap saja masih ada yang berpendapat bahwa naiknya sang Jendral menjadi presiden merupakan keharusan yang mendesak dan diyakini sebagai Sang Mesiah bangsa dari kehancuran ekonomi tingalan orde lama dan gelombang tsunami komunisme yang kian anarkis melanda bangsa ini kala itu.

Walaupun pada dasarnya polemik ideologi yang dialami rezim ini (orba) tidak terlalu mencuat, terlebih setelah upaya desoekarnoisasi besar-besaran di semua sendi kehidupan bernegara dan pemberangusan PKI sampai akar-akarnya (katanya), namun sang Jendral tetap mengusahakan langkah promotif agar Pancasila benar-benar merasuk dalam setiap denyut nadi warga negara Indonesia. Bahkan visi rezim ini pun sangat jelas: berkomitmen untuk mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Sangat indah sekali bukan? Alih-alih membumikan Pancasila dan UUD 1945, nyatanya rezim ini justru menjadikan Pancasila sebagai alat propaganda politik mereka dan rumusan tafsiranya disesuaikan dengan keadaan serta kebutuan pemerintah kala itu. Namun tidak bisa kita pungkiri bahwa apa yang sang Jendral lakukan merupakan gebrakan yang sedikit banyak mulai membawa perubahan signifikan. Nilai-nilai gotong royong yang dianggap sebagai denyut nadi bangsa kian hari mendapat tempat yang nyata dan benar-benar terwujud. Sekali lagi itu hanya di awal, ibarat peribahasa di luar merah di dalam pahit, sangatlah cocok untuk mengungkapkan rezim ini.

 Dari mulai adanya pelaksanaan program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang diwajibakan mulai pada tingkat dasar-bangku kuliah, yang juga diisi dengan wawasan keindonesiaan, GBHN dan UUD 1945 yang pelaksanaanya dikerjakan oleh sebuah lembaga yang disebut BP7 (Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Dalam sebuah ungkapan Langenberg (1990) menuturkan bahwa orde baru adalah negara sekaligus sistem yang sejak tahun 65/66 membangun hegemoni dengan formulasi ideologi sebagai tiang penyangganya. Pada kenyataanya program tersebut hanyalah dalih rezim untuk mengontrol dan memasang tali kekang pada rakyatnya sendiri, sehingga meraka akan patuh, nurut dan tutut terhadap segala kebijakan yang pemerintah ambil. Sebaliknya bagi mereka yang kritis, vokal dan terkesan selalu memojokan pemerintah, maka label anti Pancasila akan melekat dan ujung-ujungnya dakwaan sebagai antek komunis dan dimusuhi secara sosial adalah hukumannya.

Kemudian kemunculan TAP MPR No. II/MPR/1978 (sudah dicabut), tentang 36 butir Pancasila atau Eka Prasetia Panca Karsa sebagai ciri-ciri manusia Pancasilais. Pemerintah Orde Baru mengharapkan melalui 36 butir Pancasila, terbentuk suatu tatanan masyarakat yang harmonis dalam bingkai berbangsa dan bernegara, serta mewujudkan negara Indonesia yang adil dan makmur, jaya di segala bidang. Namun itu pun hanya formalitas semata, sebuah lelucon yang menimbulkan gelak tawa bagi siapa saja yang mendengarnya. Pada kenyataanya, rakyatlah yang dipaksa mengamalkan ajaran butir-butir Pancasila tersebut, dan pemerintah hanya merumuskan tanpa pernah mengamalkannya. Amburadul sak karepe dhewe. Puncaknya ketika rezim orba mengesahkan Pancasila sebagai asas tunggal parpol dan ormas melalui undang-undang, yang nyaris menyempurnakan otoritarianisme demokrasi versi sang Jendral, bahkan menurut Daniel Dakhidae (Cendikiawan) dianggap sebagai Neo Fasisme orba dengan mengontrol seluruh pemikiran dan aktivitas rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun