Mohon tunggu...
felix satrio
felix satrio Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Pecinta Pendidikan, kebudayaan, kesenian, kemanusiaan dan Katolisitas

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sakralitas Katolik dan Sakralitas Masyarakat Adat Baduy

10 Mei 2023   11:51 Diperbarui: 13 Desember 2023   08:09 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Perlukah Tatanan Dalam Menjaga Sakralitas Tempat Suci dan Sakramen Maha Kudus Dalam Gereja Katolik?


"Lonjor teu muenang dipotong, pondok teu muenang disambung" / terlalu panjang jgn dipotong, telalu pendek jgn disambung.... bagaimana kebijakan di "Orang Kanekes" atau sering kita kenal sebagai suku baduy,  membuat mereka bertahan pada tradisi, menerima dgn rendah hati tiap aturan leluhur, hingga mereka tetap dipandang LUHUR sampai sekarang... selamat menghayati!

Saat mempelajari masyarakat Baduy saya sempat menuliskan kata-kata singkat sebagai penghormatan saya pada masyarakat ini, berikut tulisan saya tersebut, "Orang-orang Kanekes lebih sosialis dibandingkan marxis, lebih naturalistik daripada pandangan ataupun segala gerakan naturalisme yang terispirasi Vandana Shiva dan lebih spiritualistik dibandingkan spiritualisme agama-agama impor".

Sebuah masyarakat yang merupakan anti-tesis dari peradaban yang rusak, eksploitatif dan koruptif atau dalam bahasa lainnya bisa dikatakan bahwa mereka adalah Adam dan Hawa yang belum tercemar, Adam dan Hawa yang masih tinggal di Firdaus. Masyarakat yang sangat cerdas untuk hidup berdampingan dengan alam secara harmonis, masyarakat yang selalu merasa cukup dan bersyukur. Parimeter kecerdasan yang jelas sangat berbeda dengan peradaban masyarakat "modern", namun saat ini kita bisa  melihat dengan jelas kecerdasan mana yang konstruktif dan kecerdasan mana yang destruktif.

Yang menarik adalah bagaimana dibanyak suku adat dan terutama di Baduy memandang obyek yang dipandang sakral bagi mereka. Dari mereka terlihat jelas bahwa obyek sakral perlu dihidupi dengan segala aturan dan tatanan yang melekat padanya. Dalam hal suku baduy, segala tatanan dari Buyut yang diturunkan kepada Puun (pimpinan tertinggi dalam pamarentahan suku Baduy) merupakan hal sakral (keramat) yang tidak perlu dipertanyakan dan direka-reka sesuai selera. 

Segala bentuk atau usaha mengubah tatanan tersebut merupakan potensi akan hancurnya sakralitas tersebut, bahwa sakralitas perlu dihidupi dengan tatanan yang kemudian harus disakralkan juga, merupakan sebuah usaha untuk mempertahankan identitas sakral dari obyek, karena pada dasarnya sakralitas sebuah obyek tidak pernah hidup dengan sendirinya melainkan dihidupi oleh pandangan subyek-subyek yang terkait dengannya.

Sebagai ilustrasi lain, dalam Kraton Jogjakarta, Kraton dan Sultan sebagai sebuah obyek sakral. Watak kepemimpinan dalam konsep kekuasaan Jawa atau menurut Budaya Mataram disebut dengan doktrin Keagungan binatharaan. Kewenangan yang besar dan mutlak atau "wewenang murba wisesa" yang digambarkan dengan ungkapan "bnathara, mbau dhendha anyakrawati" (sebesar kekuasaan, dewa, pemeliharaan hukum dan penguasa dunia), sehingga wajarlah, bahkan hingga sekarang mayoritas masyarakat DIY masih setuju penetapan dibandingkan pemilihan, dalam konteks keistimewaan DIY, dan bagaimana sakralitas Sultan dan Kraton (minimal dalam konteks Budaya) tetap dilindungi oleh tatanan-tatanan yang terkesan sangat feodalistik dalam kerangka pikir "modern" atau "popular", semisal budaya sembah, cara jalan dan banyak lagi tatanan yang harus dilakukan seorang abdi dalem kepada rajanya.

Dalam kaitannya dengan masyarakat agama, masyarakat agama selalu memiliki hal-hal yang disakralkan, baik itu tempat ibadah maupun tatacara ibadah, dll, dalam agama Katolik misalnya, Bagunan Gereja sebagai tempat suci serta tubuh Kristus yang tersimpan dalam Tabernakel merupakan obyek sakral bagi umat Katolik, sehingga perlu tatanan untuk terus menghidupi kesakralannya dan tentunya tatanan tersebut haruslah dihidupi oleh umatnya, jikalau sakralitas tersebut ingin dipertahakan. Tatanan-tatanan tersebut banyak diatur, salah satunya dalam Dokumen Konsili Vatikan II  Sacrosanctum Concilium yang mengatur tentang kaidah-kaidah dalam beribadah. 

Dalam pandangan saya aturan-aturan tersebut dirumuskan oleh Bapa-bapa Gereja dengan tidak hanya memperhatikan aspek teologisnya saja namun juga aspek-aspek sosio-antropologis dan aspek-aspek yang lain, Inkulturasi dalam liturgi harus dipahami bukan sebagai sebuah proses yang semata-mata menyesuaikan diri terhadap selera umat, sehingga berpotensi merusak tatanan yang menghidupi sakralitas Gereja, apalagi ketika selera sangat terkait pada segmen dan terkait dengan budaya yang "populer" yang selalu bercirikan  dinamis dan berubah dengan cepat. Terkait dengan Inkulturasi ini dinyatakan bahwa Gereja "hendak mengusahakan dengan seksama pembaruan umum liturgi" (SC 21). 

Maksudnya supaya umat kristiani terjamin mendapatkan rahmat yang berlimpah dari liturgi. Untuk itu ditentukan kaidah "siapa" yang berhak mengubah liturgi: Paus dan dalam batas-batas tertentu Konferensi Waligereja (SC 22), hal itu adalah agar tradisi yang sehat dipertahankan, dan perkembangan yang wajar harud didasari oleh penyelidikan teologis, historis dan pastoral secara cermat. Bukan semau-maunya (SC 23). Kitab Suci merupakan tulang punggung liturgi, baik bacaan, homili, nyanyian, seruan permohonan, madah dan perlambangan (SC 24). 

Sikap yang mengutamakan keheningan dalam sebuah perayaan Korban Ekaristi menjadi penting dalam kaitannya dengan sakralitas Korban Ekaristi tersebut. Sekali lagi Gereja Katolik perlu menghidupi dan dihidupi umatnya, dalam hal ini saya berpendapat bahwa dari banyak studi tentang relasi sakralitas dan masyarakat dalam masyarakat adat ditemukan bahwa sakralitas memerlukan sebuah tatanan yang harus dijaga oleh otoritas yang mempunyai legitimasi kuat di mata masyarakatnya, dengan demikian masyarakat akan terus memegang teguh tatanan tersebut dan sakralitas tersebut akan terus dihidupi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun