Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mudik Jebol + Wisata Longgar = Potensi Lonjakan Datang = Saatnya Tarik Rem?

18 Mei 2021   12:46 Diperbarui: 18 Mei 2021   13:09 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Beritasatu.com

Narasi diatas merupakan buah hasil dari fenomena yang terjadi sekarang ini. Mungkin atau bisa saja terjadi ketika secara data psikologis memang sudah ada lonjakan setelah 1-2 minggu momentum besar seperti Lebaran dan Arus Mudik/Balik usai. Maka demikian, perlu juga dipertanyakan lewat narasi seperti ini. 

Sudah berapa jelaskah Pemerintah dalam menyikapi sebuah situasi yang akan bahkan sudah terjadi sekarang ini mulai dari pencegahan hingga pada pengendalian bilamana situasinya sudah memburuk? Sepertinya memang cenderung menyedihkan manakala kita memahami situasi kebatinan sejauh ini apalagi secara kacamata awam kita memang menyesali bahwa pandemi yang mulai tahun lalu juga dirasa tak kunjung berakhir. 

Kita memang harus berkali lipat menjaga kesabaran atas kerinduan ramainya momentum Lebaran kali ini. Sebagai manusia yang kurang lebih seperti para pembaca sekalian yang taat atau patuh akan aturan tentu kita juga berusaha menahan diri. Hanya saja mengapa bisa jebol?

Walau Kementerian Perhubungan mengklaim bahwa Penyekatan atas arus mudik Lebaran mulai 6 hingga 17 Mei sudah cukup berhasil. Kementerian Perhubungan sebelumnya juga memang punya data bersama Satgas Covid-19 (KPC-PEN atau Komite Pencegahan Covid-Pemulihan Ekonomi Nasional) melalui survey yang diedarkan dan dipublikasikan sebagai bentuk atau dasar kebijakan mitigasi dan antisipasi di lapangan. 

Terdapat 33 persen masyarakat cenderung mudik di kampung halaman jika tidak ada larangan kemudian temuan 11 persen yang ngotot mudik meski dilarang oleh Pemerintah, hanya saja memang terjadi penurunan ke 7 persen setelah sosialisasi mulai bergulir dimana 2021 ini Pemerintah Pusat kembali melarang mudik. Apalagi di tahun ini cuti lebaran dipangkas total dari awalnya sekitar 7-10 hari jikalau normal kini hanya disisakan sekitar 2 hari saja. 

Imbasnya memang setelah sudah berjalan Kemenhub pun juga mengklaim meski di kenyataan kita juga melihat fenomena bahwa penyekatan cenderung jebol, namun tidak bisa dipungkiri dari 333 titik bahkan tambahan lagi 48 titik di tiap Aglomerasi tetap saja akan ada celahnya. 

Kemenhub punya data 1,5 juta pemudik sudah diputar balik hanya saja yang menjadi masalah sudah berapa banyak yang lolos? Apakah hanya berkutat pada penindakan terhadap travel liar, peniadaan jadwal kereta dan bus AKAP atau mobil pribadi saja. Bahkan di lapangan pun untuk udara dan laut malahan cenderung longgar ditandai banyaknya WNA yang masuk sebagai konsekuensi pengecualian guna mendukung Proyek Strategis Nasional. Sangatlah kontradiktif tentunya.

Ironi memang ketika kita selalu berpikir tentang penanganan Pandemi di Indonesia mungkin saja secara opini pribadi secara Nasional belum sepenuhnya menuju keberhasilan walaupun klaim ada negara yang berhasil pun belum sepenuhnya absah karena jelas Pandemi ini belum berubah menjadi epidemic jikalau ada negara yang sukses namun lengah sedikit saja pasti akan ada temuan kasus baru yang malah menimbulkan lonjakan bilamana tidak segera serius ditangani. 

Tidak usah jauh-jauh, negara tetangga seperti Singapura kemarin saja baru mendapatkan penghargaan urusan ketahanan terhadap pandemic dengan skor 0,1 poin lebih unggul dibandingkan Selandia Baru yang bisa dikatakan Zero Transmission dengan Indeks Ketahanan meliputi tingkat positif tes (positivity rate), tingkat kefatalan (fatality rate), angka kematian (mortality rate) hingga persentase vaksinasi terhadap warganya semua menjurus pada Singapura dengan nilai 79,7 dimana berdasarkan data dari Bloomberg ini Singapura sudah melaksanakan vaksinasi mencakup seperlima dari populasinya sehingga menjadi nilai plus juga sedangkan Selandia Baru dan Australia bisa dikatkaan baru merintis bahkan melakukan  pengadaan dimana kekuatan mereka adalah bagaimana sistem karantina dan keterbukaan publik terhadap transmisi virus yang membuat peningkatan kewaspadaan. Namun apakah selamanya peringkat diatas dapat dipertahankan?

Dalam waktu yang belum begitu lama, terjadi lonjakan kasus imbas pula varian baru di India yang menyebabkan Tsunami Covid. Seketika Negara lain pun ikut waspada bahkan SIngapura saja kini telah kebobolan setelah ditemukan banyak varian India yang masuk melalui Imigran Pekerja kemudian menjadi Transmisi Lokal hingga sama sekali tidak terkendali melalui pengetesan. Imbasnya banyak klaster baru ditemukan mulai dari RS, Hawkers, Preschool hingga yang terkini terjadi di Terminal Bandara Changi menyebabkan terjadinya penutupan terhadap kawasan rawan penyebaran. Pemerintah Singapura pun lengah, bahkan menganggap bilamana tidak segera tanggap yang terjadi di India akan banyak terjadi di negara lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun