Aku duduk sejenak, menghela napas, menatap layar. Tulisan ini adalah yang ke-85 sejak aku memutuskan kembali menekuni dunia yang pernah kuimpikan. Sebuah perjalanan yang, jika kutarik jauh ke belakang, mungkin tak pernah kuduga akan kumulai kembali.
Tahun 2006, saat memilih jurusan kuliah, aku begitu yakin ingin mendalami Bahasa Indonesia. Aku mencintai kata-kata, puisi, dan segala hal yang berhubungan dengan dunia literasi. Namun guruku, sosok kebapakan yang begitu peduli, menasihatiku dengan penuh pertimbangan. Kata-katanya masih terngiang jelas, meski hampir dua dekade berlalu:
"Fe, kamu jangan ambil Bahasa Indonesia di pilihan pertama. Jadikan itu pilihan kedua saja. Akuntansimu juga bagus, jadikan itu pilihan utama. Kamu bisa lebih leluasa bekerja nantinya. Kalau seperti Bapak, bisanya cuma ngajar. Nggak ada yang pada les Bahasa Indonesia."
Beliau mengucapkannya sambil tertawa, tapi aku yang mendengarnya justru merasa miris. Aku pun menuruti sarannya, dan benar saja aku diterima di salah satu PTN dengan jurusan Akuntansi. Aku bersyukur, tetapi di satu sudut hatiku, ada ruang yang terasa kosong.
Namun, kata-kata tak pernah benar-benar pergi dariku. Di sela rutinitas bekerja, aku tetap menulis, meski hanya sebatas status di WhatsApp atau Instagram. Ada yang masih tersimpan, tetapi tak sedikit pula yang menghilang, terhapus begitu saja, lenyap seiring bergantinya hari.
Sampai akhirnya, setelah menikah, suamiku berkata sesuatu yang membuatku berpikir ulang:
"Kamu itu kalau nulis, coba disimpan. Jangan cuma lewat status aja terus hilang. Sayang, padahal bisa bermanfaat untuk mengedukasi atau berbagi kebaikan."
Mungkin, di situlah titik baliknya. Sampailah di awal tahun 2025, setelah hampir dua dekade mimpiku terkubur, aku menggali kembali apa yang dulu kutinggalkan. Aku mulai menulis lagi. Bukan sekadar mengungkapkan isi hati, tetapi sebagai bentuk syukur, refleksi diri, dan jalan untuk terus belajar.
Singkatnya, kini menulis bukan sekadar hobi. Ia adalah bagian dari perjalanan self-growth. Aku menyadari bahwa setiap kata yang kutorehkan bukan hanya untuk dibaca orang lain, tetapi juga untuk memahami diriku sendiri. Setiap tulisan adalah jejak bukan hanya untuk menuntun pembaca, tetapi juga untuk menuntunku menuju versi diriku yang lebih baik.
Ramadhan tahun ini, aku berharap menulis bisa menjadi bagian dari ibadah tambahan bagiku. Aku ingin setiap huruf yang kuketik membawa manfaat, bukan hanya bagi mereka yang membacanya, tetapi juga bagi jiwaku sendiri. Semoga ada keberkahan di dalamnya, di dunia, dan lebih lagi di akhirat nanti.