Mohon tunggu...
Ferra Shirly A.
Ferra Shirly A. Mohon Tunggu... istri yang suka menulis dan minum kopi

senang bekerja dan belajar dari rumah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lebih dari Sekedar Stoic: Keteguhan Sejati dalam Islam dan Ujian Ramadhan

27 Februari 2025   14:35 Diperbarui: 27 Februari 2025   14:35 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hidup tidak selalu berjalan sesuai keinginan. Kesedihan, kehilangan, dan ketidakpastian adalah bagian dari perjalanan manusia. Dalam menghadapi kenyataan ini, sebagian orang mencari pegangan dalam filosofi seperti Stoicisme, yang mengajarkan penerimaan, ketenangan, dan fokus pada hal-hal yang bisa dikendalikan. 

Namun, Islam menawarkan sesuatu yang lebih dari sekedar keteguhan mental. Bukan hanya soal menerima dengan lapang dada, tetapi juga tentang keyakinan bahwa di balik setiap peristiwa ada hikmah yang Allah tetapkan. Seorang Muslim tidak hanya bertahan dalam ujian hidup, tetapi juga bersandar kepada Allah, menjadikannya lebih dari sekadar Stoic. Berikut penjelasannya lebih lanjut: 

Mengendalikan yang Bisa, Berserah pada yang Tak Bisa 

Dalam kehidupan sehari-hari, ada banyak hal yang bisa kita kendalikan dan banyak pula yang tidak bisa kita kendalikan. Kita bisa berusaha sebaik mungkin dalam belajar atau bekerja, tetapi hasil akhirnya tetap di luar kuasa kita. Kita bisa menjaga sikap dan perkataan, tetapi tidak bisa mengontrol bagaimana orang lain menilai kita. Kita bisa menjalani hidup sehat, tetapi tetap tidak memiliki kuasa penuh atas penyakit yang mungkin datang.

Seorang Stoic akan berkata, "Fokuslah pada apa yang bisa kamu kendalikan, dan terimalah yang tidak bisa diubah." Namun, seorang Muslim akan melangkah lebih jauh: berusaha, bertawakal, dan meyakini bahwa setiap kejadian adalah bagian dari rencana-Nya yang lebih besar, bahkan jika sulit untuk dipahami saat ini.

Misalnya, saat seseorang gagal mendapatkan pekerjaan impiannya. Seorang Stoic mungkin akan berkata, "Saya telah berusaha, saya tidak bisa mengubah hasilnya, jadi saya harus menerima dan mencari peluang lain." Sementara seorang Muslim akan berpikir, "Saya sudah berusaha sebaik mungkin, dan jika ini bukan rezeki saya, pasti ada hikmah yang Allah siapkan. Mungkin ada pekerjaan yang lebih baik untuk saya, atau mungkin Allah sedang melindungi saya dari sesuatu yang tidak saya ketahui."

Ketika kehilangan orang yang dicintai, seorang Stoic akan berkata, "Kematian adalah bagian dari kehidupan, dan saya harus menerima kenyataan ini dengan tenang." Sedangkan seorang Muslim akan menambahkan, "Kematian memang tak terelakkan, tetapi saya berdoa agar Allah memberikan tempat terbaik baginya di akhirat dan mempertemukan kami kembali di surga."

Di sinilah perbedaan utama terlihat. Islam tidak hanya mengajarkan untuk menerima kenyataan, tetapi juga keyakinan bahwa di balik setiap kejadian ada hikmah dan kasih sayang Allah. Penerimaan dalam Islam bukan sekadar kepasrahan kosong, melainkan bentuk keyakinan bahwa Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengatur segala sesuatu dengan sebaik-baiknya.

Ramadhan: Ujian Keteguhan yang Membentuk Seorang Muslim

Keteguhan sejati dalam Islam akan mencapai puncaknya di bulan Ramadhan, bulan yang tidak hanya menguji kesabaran dan pengendalian diri, tetapi juga memperkuat hubungan seorang hamba dengan Tuhannya. Jika Stoicisme mengajarkan manusia untuk tetap tenang dalam menghadapi ujian, maka Ramadhan mengajarkan bahwa ketenangan sejati datang dari keimanan dan ketaatan kepada Allah. 

  • Puasa: Pengendalian Diri yang Bermakna

Jika Stoicisme mengajarkan untuk mengendalikan nafsu demi ketenangan batin, Islam mengajarkan bahwa pengendalian diri adalah bentuk ibadah yang membawa keberkahan. Rasulullah bersabda: 

"Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dusta, maka Allah tidak peduli dia telah meninggalkan makanan dan minumannya" (HR. Bukhari).

Puasa melatih bukan hanya fisik, tetapi juga hati dan pikiran. Bukan sekadar mengendalikan emosi, tetapi juga menggunakannya untuk mendekat kepada Allah.

  • Kesabaran yang Berpahala

Ramadhan mengajarkan bahwa setiap kesabaran bukan sekadar ketahanan mental, tetapi juga investasi pahala. Allah berfirman:

"Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas" (QS. Az-Zumar: 10).

Jika Stoicisme mengajarkan bersabar untuk ketenangan diri, Islam mengajarkan bahwa kesabaran membawa keberkahan dunia dan akhirat.

  • Tawakal: Menyerahkan Hasil kepada Allah

Stoicisme berkata bahwa, "Manusia hanya bisa berusaha dan menerima hasilnya dengan lapang dada." Islam melangkah lebih jauh dengan konsep tawakal, yaitu berserah diri kepada Allah setelah berusaha. Seorang Muslim tidak hanya bekerja keras, tetapi juga berdoa agar Allah memberikan yang terbaik.

  • Harapan dan Taubat: Tidak Ada Kata Terlambat

Salah satu perbedaan mendasar antara Stoicisme dan Islam adalah soal harapan. Stoicisme mengajarkan untuk tidak terlalu berharap agar tidak kecewa, sedangkan Islam justru mengajarkan bahwa harapan kepada Allah adalah sumber kekuatan.

Ramadhan adalah bulan pengampunan. Sebesar apa pun dosa, Allah membuka pintu taubat selebar-lebarnya. Rasulullah bersabda:

"Barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu" (HR. Bukhari & Muslim).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun