Kasus demi kasus terus bergulir di negeri ini. Terbaru, seorang direktur subholding Pertamina dengan gaji fantastis justru terseret dalam skandal korupsi. Ia, bersama enam tersangka lainnya, diduga terlibat dalam kejahatan Pertamax oplosan. Bukan sekadar permainan angka, tetapi sebuah pengkhianatan terhadap kepercayaan publik. Bukan hanya merugikan negara hingga ratusan triliun, tetapi juga mencederai jutaan rakyat yang tanpa sadar menjadi korban.
Lagi-lagi, kita diingatkan bahwa banyaknya harta dan tingginya jabatan bukanlah jaminan seseorang akan terhindar dari keserakahan. Ini hanyalah satu contoh dari sekian banyak kisah serupa di negara kita. Sebuah potret nyata bahwa betapa pun besarnya penghasilan, bagi sebagian orang, itu masih saja belum terasa cukup!
Lalu, apa sebenarnya hakikat kaya itu?
Mari kita tengok dua orang yang sama-sama telah memasuki masa pensiun. Namun, dengan kisah yang berbeda.
Yang pertama, seorang pensiunan pegawai negeri biasa. Gajinya dulu tidak besar, rumahnya pun sederhana, mungkin hanya peninggalan orang tua atau hasil mencicil bertahun-tahun. Tapi, ia hidup dengan cukup. Setiap pagi, ia bangun tanpa beban, beribadah dengan tenang, menikmati secangkir kopi di teras, menghirup udara segar, dan berjalan-jalan santai di sekitar rumahnya. Kadang ia mampir ke warung untuk membeli sayur, kadang sekadar bercengkrama dengan tetangga. Ia menikmati hari-hari tuanya dengan damai. Tak banyak yang ia kejar, tak banyak yang ia takutkan. Hidupnya mengalir, cukup, dan bahagia.
Lalu, lihatlah yang kedua. Seorang mantan petinggi perusahaan besar. Saat pensiun, tabungannya luar biasa, investasinya di mana-mana, asetnya mencakup properti hingga bisnis yang terus berputar. Tapi, alih-alih menikmati masa tua dengan tenang, ia masih saja sibuk berlari. Selalu ada proyek baru yang dikejar, selalu ada peluang bisnis yang sayang dilewatkan. Waktunya lebih banyak dihabiskan di ruang rapat daripada di rumah, lebih sering membahas kontrak daripada bercengkrama dengan keluarga. Ia sudah kaya raya, tapi rasanya tak pernah merasa cukup.
Kedua orang ini memiliki kondisi finansial yang sangat berbeda, tetapi siapa yang sebenarnya lebih "kaya"?
Dari sini, kita bisa belajar bahwa kaya bukan sekadar soal angka di rekening. Ada yang sederhana, tetapi merasa cukup dan damai. Ada yang berlimpah, tetapi terus merasa kurang dan sibuk menumpuk harta seolah dunia ini akan selamanya.
Ironisnya, fenomena ini bukan hal baru. Sudah ribuan tahun lalu, Al-Qur'an mengisahkan tentang Qarun. Seseorang yang awalnya miskin, lalu diberi kekayaan melimpah, tetapi bukannya bersyukur, ia justru semakin tamak! Harta yang tak terhitung banyaknya tidak membuatnya merasa cukup, justru semakin membuatnya haus akan kekayaan. Ia enggan berbagi, merendahkan orang-orang di sekitarnya, bahkan dengan angkuh mengklaim bahwa semua yang ia miliki adalah hasil dari kepintarannya sendiri. Hingga akhirnya, Allah menenggelamkan dia beserta seluruh hartanya. Seketika, semua sirna, seolah tak pernah ada. Tetapi kisahnya tetap hidup sebagai pelajaran yang akan terus berlanjut.
Lalu, mengapa ada orang yang terus merasa kurang, meskipun sudah memiliki segalanya?
Bisa jadi ia terjebak dalam "hedonic treadmill", yaitu konsep bahwa manusia selalu menyesuaikan diri dengan pencapaian dan standar hidupnya yang terus berubah. Namun, kepuasan atau kebahagiaan yang dirasakan hanya sebentar saja. Contohnya: dulu bisa memiliki mobil sudah cukup membahagiakan, tetapi ketika keuangan membaik, kebahagiaan itu bergeser. Mobil harus selalu model terbaru, liburan harus ke luar negeri, jam tangan harus merek tertentu. Kebahagiaan yang dulu begitu dekat dan mudah kini terasa makin jauh, karena standar yang terus meningkat. Maka, seberapa pun harta bertambah, akan sulit merasa puas.