Pernahkah Anda bekerja di sebuah UMKM dan mendapati kenyataan pahit bahwa gaji yang diterima bahkan tak cukup untuk makan layak seminggu? Atau justru Anda adalah pelaku usaha kecil yang bingung antara ingin memberikan upah layak tapi takut usaha tak mampu bertahan?
Selamat datang di realita UMKM Indonesia - di mana semangat bertahan hidup kadang berseberangan dengan nilai-nilai keadilan sosial. Di sinilah kita perlu merenung: bagaimana mungkin sektor yang menyerap lebih dari 97% tenaga kerja nasional (Kemenkop UKM, 2024) justru menjadi arena paling rawan dalam praktik upah di bawah standar?
UMKM: Harapan Ekonomi, Duka Pekerja
Ada seseorang yang pernah bekerja di sebuah UMKM makanan beku, memproduksi tahu ayam olahan yang dijual ke warung-warung kecil di pinggiran kota. Gaji nya? Rp1,200,000 sebulan. Tanpa BPJS. Tanpa THR. Tanpa jam kerja yang pasti. Dan ketika bertanya soal kenaikan upah, jawabannya selalu satu: "Belum bisa."
Apakah harus marah? Tidak sepenuhnya. Karena kita melihat sendiri bagaimana pemilik usaha pontang-panting menjaga arus kas. Bahkan untuk membeli bahan baku, mereka harus menunggu pembayaran dari toko-toko yang sering kali terlambat.
Ini bukan semata soal pelit. Tapi juga soal sistem. Sistem yang tak punya cukup ruang untuk UMKM berkembang tanpa menekan karyawan.
Dua Wajah Pelaku UMKM
Tapi mari jujur: tak semua pelaku UMKM seperti itu. Ada juga yang sengaja membayar murah karena tahu mereka bisa - memanfaatkan para pencari kerja yang tak punya pilihan lain.
Maka, kita perlu membedakan dua hal:
- UMKM yang benar-benar kesulitan finansial, dan
- UMKM yang aji mumpung menekan buruh.