Pernah nggak, datang ke suatu tempat, terus langsung diperlakukan seperti keluarga? Itulah yang aku alami ketika berkunjung ke Wonosobo bersama dua temanku. Kebetulan, salah satu dari kami memang tinggal di sana, jadi kami sepakat untuk menginap di rumahnya. Tapi, yang tidak kami sangka, kedatangan kami bertepatan dengan acara hajatan mengenang dua tahun wafatnya salah satu anggota keluarga.
Praktis, suasana rumah menjadi super sibuk-ada yang memotong ayam, memasak nasi gurih, menyiapkan sayur, hingga membungkus besek. Meski begitu, kedatangan kami tetap mendapat sambutan hangat.Â
Begitu duduk, aneka makanan ringan khas daerah disajikan meriah di meja. Berbagai hidangan berat juga segera ditawarkan untuk disantap. Kami disuguhi seafood, hidangan yang notabene bukan makanan sehari-hari masyarakat dataran tinggi. Bahkan, kami tidak diperbolehkan untuk mencuci perkakas sendiri. Sejujurnya, aku sedikit canggung menghadapi keramahtamahan seperti itu.Â
Keesokan harinya, meski baru saja mengadakan acara hajatan yang melelahkan, kami tetap diperlakukan istimewa. Mak'e, Ibu dari temanku, spesial membuatkan mie ongklok khas Wonosobo. Sambil meracik mie ongklok, Mak'e bercerita bahwa penyambutan tamu di desa adalah bagian dari ajaran luhur yang diwariskan turun temurun. Bagi mereka, tamu adalah raja. Oleh sebabnya, membuat tamu nyaman menjadi keharusan yang wajib dijalankan.
Dalam percakapan itu, Mak'e juga berbagi pengalaman lain. Suatu ketika, Ia berkunjung ke salah satu rumah teman anaknya di Yogyakarta. Sesampainya di sana, ia heran. Setelah menempuh jarak yang cukup jauh dari Wonosobo hingga Yogyakarta, ia tidak dipersilakan masuk. Bahkan ditawari minum saja pun tidak. Bukan karena pemilik rumah tidak peduli, tetapi mungkin karena kebiasaan menyambut tamu yang berbeda.Â
Dari cerita Mak'e, aku menjadi tertarik untuk mengulik bagaimana kebiasaan penyambutan tamu dapat merepresentasikan cara hidup suatu kelompok masyarakat.Â
Gemeinschaft dan Gesellschaft: Memahami Perubahan Sosial
Pengalamanku di Wonosobo, ternyata bukan sekadar keramahan biasa. Ia juga mencerminkan pola sosial yang lebih luas. Dalam sosiologi, ada dua konsep yang bisa menjelaskan hal ini.Â
Sosiolog asal Jerman, Ferdinand Tönnies (1887), membagi tipe kelompok sosial menjadi dua: gemeinschaft (paguyuban) dan gesellschaft (patembayan). Interaksi yang terjalin dalam gemeinschaft lebih didasarkan pada hubungan personal dan emosional, sehingga lebih mengedepankan solidaritas.Â