Mohon tunggu...
Febry Arifmawan
Febry Arifmawan Mohon Tunggu... profesional -

Pernah menjadi pemimpin redaksi majalah mahasiswa Himmah, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Sekarang bekerja sebagai news producer di Net Mediatama Indonesia, menekuni pembuatan dokumenter tv tentang sejarah dan lingkungan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Ringkik Sandelwood dan Indahnya Kain Sumba

11 Januari 2012   11:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:02 829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Siapa tak kenal Sumba? Sumba identik dengan sabana yang luas serta ternak yang berkeliaran bebas di padang rumput. Beberapa saat sebelum pesawat Trigana Air yang saya tumpangi mendarat di Bandara Mau Hau, Waingapu, seakan menguatkan persepsi itu. Dari atas pesawat ATR-42 milik maskapai yang banyak melayani rute Indonesia Timur ini, daratan Sumba tampak seperti bentangan tanah lempung berwarna kecoklat-coklatan. Semak-semak khas daerah beriklim panas tumbuh bergerombol. Lantas warna hijau sabana mulai dominan. Gambaran Sumba yang gersang terpatahkan. Pada beberapa tempat terlihat hamparan hijau di tengah lapangan tanah kering kecoklatan.

Pulau Sumba terbagi menjadi dua kabupaten, yaitu Sumba Barat dan Sumba Timur. Waingapu yang saya kunjungi adalah ibukota Kabupaten Sumba Timur. Waingapu bisa ditempuh sekitar setengah jam dari Bandara Mau Hau. Terdapat beberapa hotel di Waingapu, salah satunya Hotel Merlin. Kelebihan hotel ini menyediakan jasa rental mobil. Wisatawan akan lebih leluasa menggunakan jasa ini. Diantar oleh Oskar Adi Yiwa, yang juga karyawan Hotel Merlin, saya menjelajahi beberapa sudut Kabupaten Sumba Timur.

Potensi ekonomi usaha kecil dan menengah di Sumba Timur adalah kerajinan tenun dan peternakan. Di dua sektor ini, Sumba Timur telah mempunyai modal dasar berupa dukungan tradisi lokal yang kuat. Sesungguhnya dengan modal budaya ini, baik tenun maupun peternakan bisa berkembang lebih pesat lagi. Namun sayang masih ditemui berbagai kendala yang menghambat kesempatan untuk maju itu.

Bagi usaha tenun, berkurangnya keterampilan yang diajarkan secara turun-temurun mulai terasa. Tentunya ini sebuah problem. Pemerintah daerah (pemda) setempat bukannya berdiam diri melihat kecenderungan ini. Pada 23 Agustus 2007, pemda setempat meresmikan kegiatan pembuatan tenun sepanjang 50 meter di Kelurahan Lambanapu. Melibatkan 70 orang penenun lokal, kegiatan yang dibantu sepenuhnya oleh Dewan Kerajinan Daerah (Dekranasda) Sumba Timur ini akan berlangsung hingga Desember 2007.

Salah satu penenun yang saya temui adalah Bernadeta Konga Nahu. Nenek yang saya taksir berusia sekitar 50 tahunan ini mengaku mendapatkan keterampilan menenun dari ibunya. Hal yang sama ia lakukan dengan mengajari anak perempuannya untuk bisa menenun. Kreativitas kaum hawa memang mendominasi kerajinan tenun ini. Kain tenun ini sudah diproduksi masyarakat Sumba sejak berabad-abad lampau. Jenis kain tenun Sumba ada beberapa macam, ada yang disebut Hinggi (kain untuk pria) dan Lau Pahikung (sarung untuk wanita).

Kain itu biasa dijual dengan harga belasan ribu rupiah untuk selendang dan jutaan rupiah untuk kain ukuran normal. Bahkan, ada kain tertentu yang menjadi peninggalan para keturunan raja bernilai puluhan juta rupiah.

Salah satu keunikan kain tenun Sumba Timur adalah penggunaan bahan pewarna alami. Mereka menggunakan berbagai daun dan akar-akaran sebagai bahan dasar pewarnaan. Bahkan buah kemiri pun bisa dimanfaatkan untuk tujuan pewarnaan ini. ”Warna dari bahan alami pada kain semakin lama justru semakin bagus,” tutur Imelda Ndewa, salah seorang penenun di Lambanapu, menjelaskan keunggulan bahan alami.

Motif tenunan Sumba Timur coraknya sangat khas. Pola gambar di atas kain Sumba sarat nilai-nilai religius. Ayam, misalnya. Pola ini melambangkan kehidupan wanita ketika berumah tangga. Kuda adalah lambang kebanggaan, kekuatan, dan kejantanan. Sementara burung kakatua yang berkelompok melambangkan persatuan-kesatuan dan musyawarah-mufakat.

Nilai ekonomis kain tenun tersebut sudah mulai mencuat sejak zaman Belanda, dengan diekspornya kain tersebut ke berbagai penjuru dunia. Barangkali untuk warga negara asing ia bermakna verbal semata, namun bagi masyarakat Sumba menjadi cermin kehidupan ritualnya.

Tentu saja tak hanya sebagai pelindung tubuh. Selain dipergunakan dalam prosesi penguburan mayat, di satu sisi, tenun sumba dimanfaatkan dalam ritual perkawinan. Nilai ekonomis kain tenun ikat Sumba memang masih rendah jika melihat konteks pengerjaannya yang menelan waktu berbulan-bulan. Sesungguhnya aktifitas menenun ini merupakan tradisi utama masyarakat Sumba. Kegiatan ini tidak hanya berfungsi dalam sosial ekonomi saja, namun juga fungsi religius.

Sumba sering disebut bumi Sandelwood, kuda lokal yang terkenal sebagai kuda pacu yang tangguh. Lomba pacuan kuda sering dilakukan secara berkala di Nusa Tenggara, seperti di Pulau Sumbawa dan Sumba. Uniknya, sang joki penunggang kuda adalah anak-anak kecil. Kisah joki cilik ini pernah difilmkan oleh Yuli Andari dan memenangkan Eagle Award Documentary Competition 2005 yang diselenggarakan oleh Metro TV.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun