Mohon tunggu...
Febrio Sapta Widyatmaka
Febrio Sapta Widyatmaka Mohon Tunggu... Lainnya - Warga Negara Biasa

Jika ditanya konsentrasi? S1 Kartografi dan Penginderaan Jauh. S2 Tropical Urban and Regional Planning. So, mungkin bahasannya tidak akan lari jauh dari seputar itu. Namun, saya juga peminat masalah soshum, politik "kekacauan", dan universalitas.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Wacana Drone dan Potensi Kerugian Negara

1 Juli 2014   16:30 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:59 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saya bukan ahli kedirgantaraan. Saya bukan pula pakar teknologi. Saya hanya anak desa yang pernah kursus tentang sistem penginderaan jauh selama kurang lebih 4 tahun. Berangkat dari pemahaman yang semoga “nyerempet-nyerempet” tersebut, saya ingin bercerita tentang drone. Tentunya, kisah yang akan saya sampaikan bukan bersumber dari ahli drone. Cerita ini berhulu di pemikiran saya. Andai Anda telah begitu memahami karakteristik drone atau UAV maka Anda tak perlu lagi baca tulisan tak berbobot ini. Namun, apabila Saudara masih merasa “gelap” tentang drone ada baiknya baca ulasan berikut. Di sisi lain, jika pun tak ada yang memerlukan tulisan ini maka biarlah tulisan ini menjadi bahan introspeksi saya sekaligus pengingat ilmu yang telah saya pelajari.

Wacana penggunaan drone untuk pemantauan wilayah laut Indonesia –oleh Capres Dua Jari- menarik untuk dicermati. Drone atau yang dikenal dengan UAV (Unmanned Aerial Vehicle) adalah sebuah wahana terbang yang berukuran relatif kecil, terbang tanpa “pilot”, dan dioperasikan dari jarak jauh dan dengan misi tertentu (Anak Desa, 2014). Mari sejenak kita beralih ke Al Quran. Ulama menggambarkan bahwa Al Quran jika diringkas hasilnya adalah Al Fatehah. Andai “dikompress” lagi maka hasilnya adalah Ar Rahman Ar Rahim. Saya ingin sampaikan bahwa sesuatu itu sebetulnya memiliki ruh inti. Nah, pada konsep drone apa ruh intinya? Lagi-lagi menurut Anak Desa, ruh inti dari drone adalah ketinggian dan sudut pengamatan.

Teknologi di dunia ini belum ada dan saya yakin tidak akan pernah ada yang menyamai Sang Pencipta. Wacana penggunaan drone untuk pemantauan wilayah laut Indonesia sebetulnya tak terpisahkan dari maksud “mengamati” dengan “mata”. Artinya, drone tersebut akan dibekali “mata” dan diperintahkan untuk “mengamati”. Berhubung drone tidak dapat bertindak layaknya Sang Penguasa Kehidupan maka drone memiliki keterbatasan. Satu drone tidak dapat serta merta mengamati seluruh areal wilayah laut Indonesia. Catat!

Mari sedikit mengingat pengertian-pengertian Fisika. Luas pengamatan (baik itu mata maupun lensa) ditentukan oleh jarak mata/lensa dengan bidang pandang dan sudut pengamatan mata/lensa. Jika bidang pandang terletak jauh dari mata/lensa maka luas pengamatan (ingat, luas pengamatan beda dengan detil pandangan) besar. Sedangkan bila bidang pandang terletak dekat maka luas pengamatan dapat dikatakan sempit. Misal kita membeli mobil baru. Jika kita melihatnya dari jarak 10 meter maka kita akan melihat sosok mobil yang kita beli. Kita akan melihat body-nya, lengkap dengan rodanya. Namun, jika kita melihatnya dari jarak 10 centimeter maka kita mungkin hanya melihat bagian dari spion, bagian dari kaca jendela, bagian dari permukaan ban, atau bagian-bagian dari komponennya.

Sebelum lanjut ke prinsip drone, kita lanjutkan dulu tentang sudut pengamatan. Ini perlu diceritakan agak panjang lebar mengingat begitu besar ekspektasi orang tentang wacana drone tersebut tanpa terlebih dahulu mencermati dan menakar logikanya. Ingat, menakar logika! Kalau kita mengaku memiliki logika maka coba kita temukan dulu logika teknologi dari wacana yang diusung Capres Dua Jari sebelum kita membabi buta mengunggulkan wacana tersebut. Nah, yang sedang Anda baca ini adalah bagian dari logika Anak Desa. Anda pun boleh berlogika.

Seorang fotografer profesional akan memiliki beberapa stock lensa. Dia akan memilih lensa yang tepat untuk memotret wedding session pada situasi tertentu. Situasi tersebut misalnya ruangan untuk resepsi sangat sempit sedangkan tamu yang ingin berfoto bareng dengan pengantin sangat banyak dan ingin foto bersama-sama. Ilmu tentang lensa mengadaptasi prinsip bola mata. Kalau situasinya demikian maka perlu dipakai lensa yang sangat cembung. Kenapa? Supaya pandangannya lebar. Bahkan, kalau bisa lensa menghadap ke Utara tetapi bagian Barat dan Timur ikut terpotret! Kondisi demikian dinamakan sudut pengamatan besar (Anak Desa, 2014). Lain ceritanya jika ruangan resepsi luas dan lega. Sang fotografer dapat saja menggunakan lensa bersudut pengamatan kecil tetapi diakali dengan mengambil posisi bidik agak jauh dari obyek (pengantin dan tamu di kanan kirinya). Langkah ini semata untuk memperbesar luas pengamatan. Semoga penggambaran tentang mata/lensa, luas pengamatan, dan sudut pengamatan tersebut dapat mudah dicerna.

Kembali ke drone. Lagi-lagi harus disebut lagi bahwa drone adalah wahana terbang. Berhubung drone diperintah terbang untuk suatu misi pengintaian maka ruhnya adalah ketinggian terbang dan sudut pengamatan. Ketinggian terbang sama konsepnya dengan jarak fotografer dengan obyek bidikan yang saya ceritakan tadi. Sampai titik ini, semoga kita semua dapat membayangkan bahwa sebuah drone akan dapat mengamati wilayah lautan yang super luas jika ketinggian terbang drone sangat tinggi dan sudut pengamatan besar. Namun, kita juga harus realistis bahwa obyek (lautan) memiliki bentuk yang membulat mengikut bentuk bumi. Di sisi lain, lensa yang dibawa drone juga memiliki bentuk membulat. Sehingga, meskipun dipakai lensa dengan sudut pengamatan besar tetap saja distorsi tidak dapat dihindarkan. Kondisi distorsi masih lebih menguntungkan jika obyek yang difoto berbidang datar (seperti kasus fotografer memotret pengantin dan tamu di kiri kanannya).

Para praktisi kebumian yang fokus pada masalah “intelijen” geoposisi absolut menghindari distorsi yang “tidak berguna”. Mari kita bayangkan dari kacamata Anak Desa seperti saya. Kalau kita diperintahkan orang tua kita untuk mengawasi ratusan hektar ladang milik orang tua kita dengan hanya mengandalkan mata maka apakah dalam setiap detiknya kita mampu melihat sisi ladang di depan kita sekaligus di samping kanan dan kiri kita? Meskipun mata kita juga memiliki kemampuan “menyapu” obyek di kanan dan kiri kita sewaktu kita melihat ke depan, tetapi hasil sapuannya samar-samar. Obyek yang paling jelas adalah obyek yang di depan mata! Bukan yang di samping mata. Hal yang sama terjadi pada lensa. Permasalahan “sapuan samar-samar” tersebut akan menjadi rumit jika hasil pengamatan lensa akan dilekatkan koordinat. Kenapa koordinat dibawa-bawa pada kisah ini? Karena misi drone tidak lepas dari koordinat. Percuma saja jika drone terbang lalu menangkap penampakan kapal yang diduga melakukan illegal fishing tetapi drone tidak tahu berapa koordinat kapal itu berada. Betul tidak? Oleh karenanya, drone dibekali misi terkait koordinat. Dan efeknya, hanya obyek-obyek yang jelas yang dapat dikenali koordinatnya oleh drone. Bila dirunut ke belakang maka berarti luas pengamatan efektif drone terbatas!

Sampai tahap ini semoga kita semua memaklumi kenapa negara-negara maju berlomba-lomba meluncurkan satelit penginderaan jauh. Jawabannya sederhana. Satelit adalah wahana yang sebenarnya sama dengan drone tetapi ketinggian jelajahnya sangat sangat tinggi. Kenapa satelit ditempatkan pada orbit yang sangat sangat tinggi seperti itu? Jawabannya agar memiliki luas pengamatan maksimal. Loh, kan dapat diakali dengan sudut pengamatan seperti yang dilakukan fotografer? Betul. Tetapi seperti cerita pada paragraf di atas, sudut pengamatan memiliki keterbatasan. Ada “sapuan samar” yang timbul dan itu akan merumitkan proses rekonstruksi posisi koordinat! Catat! Lagi-lagi ini kata Anak Desa.

TNI AD melalui Jawatan Topografi-nya sebenarnya melakukan hal yang prinsipnya sama dengan apa yang diusung drone. Suatu misi yang diusung drone kan sebenarnya adalah pengamatan. Nah, Jantop juga melakukan pengamatan dengan wahana udaranya. Bedanya, hasil yang dikumpulkan bukan lah identifikasi illegal fishing tetapi ribuan bahkan kalau dikumpulkan pasti jutaan foto tentang obyek-obyek yang ada di permukaan bumi. Buat apa foto-foto itu? Foto tersebut akan diolah secara fotogrametris untuk menghasilkan informasi ketinggian dan rupa bumi. Saya ingin sampaikan bahwa apa yang dilakukan oleh Jantop dapat menghasilkan ribuan foto. Bahkan, kalau dikalkulasi untuk seluruh Indonesia pasti hitungannya lebih dari jutaan foto. Artinya apa? Jawaban sementara yang ringkas adalah perlu tenaga ekstra untuk menelaah foto-foto tersebut jika benar drone akan digunakan untuk pemantauan wilayah lautan Indonesia. Loh, kan tidak perlu pakai foto, pakai video saja semacam CCTV. Anggap saja video lebih ringkas dan ringan di banding foto (meskipun video tersusun oleh banyak scene layaknya foto tetapi pada dalih ini diabaikan pemantauan wilayah akan dilakukan secara visual berbasis video, mirip dengan ketika pemirsa mengamati siaran televisi). Perlu diketahui, meskipun teknik pengamatan berbasis video diasumsikan lebih “hemat” tetapi satu kata kunci yang tidak dapat dihemat masih ada yaitu: banyaknya jalur lintasan terbang!

Makna pemantauan wilayah lautan Indonesia tentu adalah pemantauan yang terstruktur dan periodik dan lebih bagus real time. Jika suatu drone (dengan keterbatasan yang diurai panjang tadi) digunakan untuk misi pemantauan wilayah maka harus ada banyak jalur lintasan terbang agar semua titik dan sudut lautan Indonesia terliput. Nah, keharusan menciptakan banyak jalur terbang inilah yang dikhawatirkan akan merugikan (keuangan) negara.

Skenario pertama: Indonesia beli satu drone saja. Skenario pertama tersebut tentu berhubungan dengan semangat efisiensi pengadaan barang. Drone –oleh Capres Dua Jari- disematkan label “harga murah alias terjangkau”. Tentu maksudnya adalah harga satuannya. Jika jumlah drone yang dibeli banyak tentu menjadi bengkak pengeluaran negara. Sama halnya kita membeli bakso. Satu porsi bakso dapat saja dinilai terjangkau. Tetapi kalau kita membeli untuk seratus porsi nilainya menjadi tak terjangkau. Saya yakin masih ada yang berkelakar, seratus porsi pun masih terjangkau. Itu adalah pilihan pribadi.

Kembali ke skenario pertama. Jika Indonesia hanya mengoperasikan satu drone maka untuk memenuhi makna dari pemantauan wilayah lautan Indonesia, satu drone tadi harus dapat melesat cepat agar semua jalur lintasan terbang terlewati dan semua wilayah lautan terliput dalam setiap harinya. Nah, pada kondisi seperti itu dinilai sangat “menyiksa”. Siapa yang tersiksa? Pihak yang tersiksa adalah drone tersebut dan tenaga manusia yang ditugaskan mengartikan video rekaman drone. Seperti halnya kendaraan, drone yang dioperasikan dengan kecepatan super setiap hari tentu rawan kerusakan baik karena gesekan yang begitu kuat dengan udara maupun gerakan yang ekstra cepat dari komponen-komponen mesinnya. Tak jauh beda dengan drone, manusia yang mengamati videonya pun tersiksa. Apakah Anda setuju bahwa luas laut Indonesia adalah terluas keempat di dunia? Apakah Anda telah mengamati betul-betul perbandingan luas daratan dan lautan Indonesia? Apakah Anda bisa bayangkan bagaimana rasanya melihat video yang kameranya dipasang  tepat di bawah bodi mobil balap F1 dan menghadap ke bawah. Apa yang akan Anda lihat? Semburat-semburat warna! Anda tak akan melihat mana kerikil, mana lubang, dsb. Begitu juga dengan video hasil rekaman drone yang tersiksa tadi. Mana kapal, mana pulau, tidak teridentifikasi dengan jelas!

Skenario kedua: Indonesia beli banyak drone. Skenario kedua ini relatif mengurangi rasa ketersiksaan drone dan operatornya. Tetapi, kembali ke falsafah bakso tadi. Agar video drone dapat “dinikmati” dan diidentifikasi dengan jelas, Indonesia perlu berapa ribu drone? Perlu dipertimbangkan juga faktor alam. Perubahan cuaca di lautan lebih ekstrim dari pada di darat. Saya ingin sampaikan bahwa misi drone untuk meliput lautan adalah misi yang berat dan sarat resiko alam.

Skenario pertama jelas tidak efektif untuk misi pemantauan wilayah lautan Indonesia. Jika pun skenario pertama mengharuskan video dapat diidentifikasi maka aspek yang dikalahkan adalah kecepatan jelajah. Itu artinya, sebuah drone akan selesai meliput satu lautan Indonesia pada rentang waktu bulanan. Drone tersebut akan kembali ke koordinat awal pada bulan-bulan berikutnya. Sedangkan kapal yang melakukan illegal fishing tentu menganut prinsip catch and run. Mereka tidak berlama-lama di suatu lokasi. Mereka akan cepat berpindah. Kalau sudah begitu, peluang drone untuk menangkap basah mereka menjadi kecil.

Skenario kedua tidak efisien. Indonesia akan mengoperasikan banyak sekali drone. Biaya operasi tinggi. Biaya analisis (identifikasi) menjadi tinggi pula. Belum lagi perhitungan faktor resiko. Dalam sebulan ada berapa banyak drone yang hilang baik tersapu badai, kilat, dan sebagainya. Hal-hal ini perlu diperhatikan karena ujung-ujungnya yang digunakan adalah APBN. Pandangan Anak Desa, jika skenario kedua diimplementasikan maka akan berdiri satu lembaga (badan atau kementerian) yang tugasnya adalah mengoperasikan drone, menganalisis video rekamannya, dan pengadaan drone hilang.

Anda yang berpegang teguh pada falsafah “jangan ketakutan dengan kekhawatiran, tapi lakukan dulu”  adalah pilihan Anda. Saya sebagai Anak Desa bisanya menilai semampunya. Paling tidak, hal seperti itu yang saya tangkap dari pola pikir negara-negara maju. Negara-negara maju untuk urusan pemantauan yang sifatnya real time dan berkelanjutan (dalam rentang lama) lebih memilih satelit penginderaan jauh.

Lalu, adakah teknologi lain? Industri pertahanan telah lama memiliki teknologi RADAR (Radio Detecting and Ranging). RADAR yang saya khususkan di sini adalah RADAR Polar (semoga saya tidak salah sebut). Secara mudah saya analogikan RADAR seperti pistol berpeluru karet. Peluru tersebut akan memantul balik ke arah pistol ketika mengenai obyek tertentu. Nah, kenapa disebut Polar karena pistol tersebut menembak sepanjang waktu sambil berputar menyapu semua arah. Hasilnya adalah gambar melingkar yang diketahui pada arah sekian derajat ada obyek sekian kilometer dari pistol. Berhubung pistol tersebut memutar sepanjang waktu maka akan didapatkan pula informasi kecepatan gerak obyek dan arah pergerakan obyek yang terkena peluru karet tadi. Peluru karet yang saya maksud adalah menggambarkan pulsa yang ditembakkan transmitter RADAR. Dan pistol tersebut adalah transmitter sekaligus receiver RADAR.

Jika memang teknologi RADAR sudah ada lama, mengapa Indonesia belum mampu mendeteksi adanya illegal fishing di lautan Indonesia? Jawaban singkatnya adalah keterbatasan jumlah stasiun RADAR. Anda boleh bertanya, kalau ternyata jumlah RADAR juga perlu diperbanyak, apa bedanya dengan drone. RADAR ditempatkan pada tempat yang tetap seperti menara BTS operator seluler. RADAR tidak lalu lalang. Sehingga dari resiko alam relatif lebih handal. Dilihat dari sisi potensi keausan komponen, durability RADAR lebih mumpuni.

Kita boleh saja lari ke pembahasan identifikasi berbasis mesin/algoritma. Video yang dihasilkan drone diperoleh dari gelombang visible. Di lapangan ada warna merah, di video muncul merah. Di lapangan ada warna coklat, di video muncul coklat. Kondisi yang “tak berbatas” tersebut sulit untuk dibuatkan algoritma. Apa itu algoritma? Kalau boleh saya sebut, algoritma adalah rumus matematika yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat menemukan anomali/kekhususan atas hal yang diamati. Jika yang dijadikan patokan identifikasi kapal adalah warna maka jelas sulit sekali terwujud hasil yang memadai. Cat body kapal beragam warna. Belum lagi pengaruh bentuk kapal, susunan kabin, ketinggian body kapal, dan sudut jatuh matahari. Body kapal berwarna putih belum tentu akan terlihat putih. Misal digunakan algoritma bentuk. Bentuk kapal bermacam-macam. Sulit pula dibuatkan algoritma.

Identifikasi berbasis algoritma pada sistem RADAR Polar masih memungkinkan. Gelombang yang dipancarkan transmitter adalah gelombang mikro. Boleh saja dianggap gelombang suara. Yang penting bukan gelombang visible. Cara kerjanya seperti peluru karet tadi. RADAR tidak mengetahui bentuk obyek bagaimana, warnanya apa. RADAR hanya tau di koordinat sekian ada benda tertentu! Nah, keluguan RADAR tersebut membuka kesempatan penerapan algoritma. Anda yang masih asing dengan RADAR tentu gamang, kalau RADAR tahunya hanya di koordinat sekian ada benda maka bagaimana memastikan bahwa benda yang dimaksud bukan lah air. Sebab, di sekitar stasiun RADAR tersebut nantinya lautan air. Bisa-bisa layar RADAR penuh dengan informasi bahwa di setiap posisi ada benda dan ternyata benda itu air!

Jendela atmosfir dihiasi oleh beragam kelompok gelombang dengan beragam frekuensi. Frekuensi tertentu hanya akan peka terhadap material tertentu. Jadi, dapat saja dipilih frekuensi yang hanya peka kepada material logam, atau kayu, dan sebagainya.

RADAR ini pun bukanlah closing statement untuk mementahkan wacana penggunaan drone. RADAR dalam tulisan ini hanya untuk menggambarkan ada teknologi lain yang selama ini sudah dipakai di hampir semua negara. Hanya saja perlu perbaikan. Semua tulisan ini buah pemikiran Anak Desa. Jika ada hal benar semata-mata karena Allah SWT. Jika ada banyak salah maka tentu dari saya sang penulis. Mohon maaf atas penjelasan yang tidak tertata rapi dan santun. Tidak ada maksud lain selain menyampaikan pemikiran pribadi (bukan pemikiran keilmuan ataupun lembaga). Selamat menunaikan ibadah di Bulan Ramadhan. Hormat saya, Febrio Sapta Widyatmaka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun