Mohon tunggu...
Diyan Pebriani
Diyan Pebriani Mohon Tunggu... Lainnya - Qalbuha Afidza

Qs.MUhammad : 7

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Analisis Komprehensif Kekuatan Islam di Indonesia Dalam Menyongsong Kebangkitan

23 Februari 2021   20:45 Diperbarui: 23 Februari 2021   21:06 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

 

Dinamika Politik

Hubungan Islam dan politik di Indonesia senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Umat Islam sebagai penduduk mayoritas merasa perlu untuk berpartisipasi aktif di bidang politik. Aspirasi Muslim terhadap politik memiliki sejarah dan jejak perkembangan yang panjang dalam pentas perpolitikan Indonesia, dari masa kerajaan Islam hingga Era Reformasi.

Dalam pemahaman Islam kultural dalam konteks ke Indonesiaan adalah Islam dakwah, Islam seni, yang identik dengan kentalnya pemahaman syariat agama yaitu "Islam Ibadah" dan Islam Masjid". Sementara pendapat mengenai Islam politik merupakan Islam yang berusaha di wujudkan dan di aktualisasikan dalam bentuk kekuasaan atau dalam kelembagaan politik resmi, khususnya dalam bidang pemerintahan baik itu legislatife mapun yudikatif.[15]

 Gencarnya pembagian yang dianggap sebagai sebuah pemisah antar Islam politik dan Islam kultural sedah agak lama dilmulai, dengan di sertai sikap seakan-akan banyak yang beranggapan Islam politik kurang cocok dengan keadaan masa sekarang, dan ini sudah di dengung-dengungkan sejak awal Orde Baru. Yang Islam kultural itulah yang dinilai banyak orang akan menyampaikan umat Islam pada masa kejayaannya.

 Tetapi kalau kita berbicara masalah historis, maka pemisah antara Islam politik dan Islam kultural adalah kebijaksanaan yang dianjurkan oleh pakar Islam seperti C. Snouck Hurgronje kepada pemerintahan pada saat itu. Yaitu agar pemerintahan Hindia Belanda membiarkan Islam ibadah, tetapi malah menghalangi Islam politik. Pada saat itu, pemerintah Belanda malah turut membantu masyarakat Islam, antara lain bentuk bentuk bantuannya membangun Masjid di Palembang dan Kota Raja dan lain-lain. Mereka malah melarang gereja dilarang didirikan di Aceh dan Banten. Dan juga mengenai perjalanan ibadah haji, yang pada saat itu dipersulit,dengan nasehat C. Snouck Hurgronje bisa dipermudah oleh pemerintahan Belanda pada saat itu.[16]

 Adapun yang dikemukakan tentang Islam structural oleh Masykuri Abdillah dalam makalahnya "Islam Politik dan Islam Struktural" mengatakan, bahwa untuk membedakan istilah-istilah tersebut, setidaknya ada dua perspektif yang perlu dikemukakan. Pertama, adalah sosialisasi dan institusionalisasi ajaran Islam, termasuk dalam konteks transformasi sosial dan pembentukan sistem nasional, yang dikelompokkan ke dalam Islam kultural dan Islam struktural. Islam yang pertama mengandung pengertian bahwa sosialisasi dan institusionalisasi ajaran Islam dilakukan melalui upaya-upaya yang menakankan pada perubahan kesadaran dan tingkah laku umat/masyarakat tanpa keterlibatan negara dan tanpa perubahan sistem nasional menjadi sistem yang Islami. Sedangkan yang kedua, Islam struktural, menekankan adanya upaya-upaya penetapan sistem nasional maupun kebijakan publik yang Islami. Padahal upaya semacam ini tidak mesti dilakukan melalui partai politik berlabel Islam, kendati tentu saja membutuhkan adanya political will dari para pengambil kebijakan.[17]

 

Islam dan Politik Indonesia

Pada persentuhannya dengan wilayah politik, Islam dalam aplikasi sosiologisnya kadang mencerahkan sejarah dan peradaban atau sebaliknya menggelapkannya. Islam, seperti agama-agama dan narasi besar lainnya, kadang menjadi kekuatan positif dan kadang menjadi kekuatan negatif, kadang merawat dan memekarkan hidup, tapi kadang juga agresif dan destruktif. Islam bisa menjadi salah satu kekuatan demokratisasi atau sebaliknya menjadi penghambat demokrasi. Pendek kata, Islam bisa menjadi energi untuk humanisasi atau dehumanisasi. Kendati wacana politik Islam di Indonesia sudah ada sejak abad ke-17, akibat hubungan politis dengan dunia luar (Timur Tengah)Mengenai hubungan agama dan negara dalam kehidupan kebangsaan kontemporer sudah barang tentu harus diletakkan dalam konteks kebutuhan untuk mewujudkan kehidupan negara yang lebih maju dan beradab. Kemajuandan keberadaban itu antara lain ditandai dengan keseimbangan antara negara (state) dan masyarakat beradab (civil society). Secara konseptual dinamika keseimbangan negara dan civil society akan ditentukan olehmodel-model negara itu sendiri.[18]

 Secara teoritis dalam pemikiran politik Islam terdapat tiga paradigma tentang masalah hubungan agama dengan Negara. [19] Pertama, paradigma yang menyatakan bahwa antara agama dan negara merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan (integrated). Kedua, Paradigma yang menyatakan bahwa antara agama dan negara meruapakan sesuatu yang saling berkaitan dan berhubungan (simbiotik). Ketiga, paradigma yang menyatakan bahwa antara agama dan negara merupakan suatu yang harus terpisah (sekularistik). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun