Mohon tunggu...
Febi M. Putri
Febi M. Putri Mohon Tunggu... Dokter - Penulis Paruh Waktu

Berkreasi, berefleksi, berbagi pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Lelaki Bercahaya

24 Juni 2022   21:51 Diperbarui: 21 Oktober 2022   15:11 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lelaki itu datang lagi mengunjungi nenek. Kali ini ia memakai kemeja biru yang dipadukan dengan celana hitam dan tas selempang yang tersampir di bahunya. 

Ia tidak memakai jas putih seperti dua minggu lalu. Namun, yang paling menarik perhatianku adalah kacamata yang menempel di wajahnya. Tidak, maksudnya matanya. Sorot matanya tajam, namun berwibawa. Ah, di mataku, lelaki itu tampak bercahaya.

Aku segera bangun dari kursi tempatku duduk menunggui warung nenek. Warung itu menempel dengan rumah tempat kami tinggal. Aku memberi isyarat kepada lelaki itu untuk duduk di tikar yang tergelar di ruang depan. 

Nenek yang sedang memasak lauk untuk makan siang tergopoh menghampirinya. Aku segera membuatkan minuman suguhan. Tidak spesial, hanya minuman bubuk kemasan yang tinggal diseduh dengan air. Walaupun begitu, aku berulang kali mencicipinya. Takut-takut bila kemanisan atau malah terlampau hambar.

Aku mencuri pandang ke arah cermin. Merapikan jilbabku yang melorot, melatih pose tersenyum yang paling sempurna. 

Kuoles bibirku dengan gincu merah yang aku beli di pasar dua hari lalu. Namun, aku malah terlihat lebih tua. Kuhapus lagi gincu itu. Aku bergegas menuju ruang tamu dan menyuguhkan minuman itu dengan malu-malu.

"Ini ... minumannya, Mas. Ayo, dicicipi." Aku rasa kalimatku lebih bergetar dari biasanya. Aku memang agak kurang jelas kalau berbicara, tapi kali ini tampaknya kegugupanku sangat terbaca. 

Lelaki itu melempar senyum ke arahku tanda berterima kasih. Rasanya ada bunga-bunga merah jambu yang merekah dan berputar di sekeliling kepalaku saat itu juga.

Lelaki itu menempelkan suatu alat di telinganya, menaruh ujungnya di dada nenek dengan lembut. Ia tampak mendengarkan sesuatu dengan saksama. Belakangan aku tahu alat itu adalah stetoskop. 

Ya, ia adalah dokter langganan nenek dari puskesmas yang jaraknya kurang lebih 5 kilometer dari kampung kami. Ia sedang menjalankan program kunjungan rumah untuk memeriksa pasien-pasien lansia di kampungku. Lelaki itu akan datang tiap dua minggu sekali. Hari-hariku terasa dipenuhi debar asmara tiap kali menunggu kedatangannya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun