Mohon tunggu...
F Daus AR
F Daus AR Mohon Tunggu... Freelancer - Narablog

Penggerutu

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Nasib Kota Diperhelatan Pilkada Sulawesi Selatan 2020

14 Januari 2020   10:13 Diperbarui: 14 Januari 2020   10:20 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

"Pilkada kali ini rasa pilgub ya," seloroh kawan yang membonceng di atas sepeda motor di sore yang mendung pekan terakhir tahun 2019 lalu. Kami berdua menempuh perjalanan dari Makassar menuju Pangkep.

Memasuki wilayah Pangkep, sontak ia mengatakan itu setelah kami melintasi spanduk di tepi jalan. Salah satu bakal calon yang akan maju di pilkada Maros memajang senyumnya di spanduk berukuran besar.

Mungkin, sebab itulah kawan tadi meresponsnya. Seorang yang akan maju di pilkada di kabupaten lain sampai memasang spanduknya di wilayah kabupaten tetangga. Seolah warga kabupaten tetangga punyak hak pilih di kabupaten ia maju nantinya.

Entah, pemasangan spanduk itu sengaja dipasang di wilayah kabupaten tetangga dengan maksud lain, ataukah, tim pemenangan yang bertugas memasang spanduk bakal calon bupati itu tidak memahami aturan main dan sasaran pemilih.

Jika ada maksud lain. Katakanlah sebagai strategi mengenalkan sosok kepada warga tetangga. Kira-kira, hal apa yang ingin dicapai dengan metode itu. Dan, bukankah itu sebentuk pemborosan mengingat wilayah kabupaten Maros lumayan luas. Mengapa spanduk itu tidak dipasang di lokus terjauh wilayah Maros, misalnya. Jika tim tidak memahami aturan. Nah, persis di sinilah pilkada hanya berakhir sebagai lelucon.

Di tahun 2020 ini, terdapat 12 kabupaten/kota yang bakal menggelar pilkada. Secara teknis, penyelenggara (KPU dan Bawaslu masing-masing wilayah sudah siap). Bakal calon sejak jauh hari telah memasang starategi awal mengampanyekan dirinya dengan tagline klise.

Mereka membicarakan kisah berulang tentang upaya memajukan dan meningkatkan kesejahteraan warga. Benarkah mereka, para tokoh yang nantinya dipilih warga memimpin bakal membangun kota agar menjadi wahana bersama semua warga.

Mari kita periksa keberpihakan itu melalui pilkada sebelumnya dan akan berlangsung melalui kisah yang ditawarkan. Pada pilkada sebelumnya di tahun 2015, khusunya di Pangkep, petahana, Syamsuddin Hamid Batara kembali melenggang.

Kebijakan merombak fasilitas umum tidak dibarengi dengan perawatan. Ruang terbuka hijau (RTH), Taman Musafir, bisa diajukan sebagai contoh, di taman ini sejumlah fasilitas bermain untuk anak seiring waktu rusak kemudian dihilangkan.

Asumsi demikian tentu saja bisa dibaca selaku bentuk kebijakan yang memotong akses kelas dan memberi jalan pada kelas lain. Yang terjadi, bisa berdampak pada kontra kelas perebutan ruang. Siklus ekonomi yang kini mengitari Taman Musafir dengan beragamnya penjaja makanan menjadi kunci pembuka ekses kelas itu.

Pertama, fungsi RTH sebagai akses bersama yang gratis bagi warga perlahan berubah menjadi transaksi ekonomi. Ini mengingatkan pada dampak revitalisasi Karebosi dan pantai Losari. Kedua, pemerintah yang semula memberikan akses ekonomi akan membaca perubahan tata laku itu dengan menerbitkan fungsi RTH. Tentu, dengan memakai logika perputaran ekonomi.

Hatib Kadir dalam blognya (econanthro.wordpress.com) mengulas buku Rebel Cities, From The Right to The City to The Urban Revolution karya David Harvey. Pendapat Harvey mengimajinasikan kota sebagai ruang untuk memutus kesenjangan dan keterasingan antar kelas bawah. Kota seharusnya dibangun untuk menampung kepentingan kolektif dari siapapun.

Mengacu pendapat Harvey, tentulah berkebalikan dengan pembangunan di Pangkep. Sebagai kota kabupaten yang tidak terlalu menampung kelebihan heterogenitas, tetapi tetap saja perlu perencanaan alternatif agar warga hidup nyaman. Namun, bukankah, kapitalisme memerlukan urbanisasi sebagai jalan mengakumulasi sumber. Harvey dengan kasar menyebutnya: accumulation by dispossession. Memang, ada hak warga yang dirampas dari model pembangunan yang mengarah pada privatisasi.

Model pembangunan kota, kalau diperhatikan cenderung seragam. Hal jamak dilakukan, ialah menandai satu kawasan dengan pemasangan jejeran huruf untuk menamai kawasan tersebut. Di Taman Musafir pernah dipasangi jejeran huruf terbuat dari stenlis atau beton. Sialnya, jejeran huruf itu rusak lalu dihilangkan.

Hal demikian memanglah teknis. Mari kita melangkahinya dan melihat lebih luas pembicaraan kota. Para kandidat, persisnya tidak eksplisit membicarakan kota secara fisik, melainkan membuat wacana abstrak menyangkut suprastruktur manusia. Sayangnya, pembicaraan semacam itu bersifat jangka pendek.

Tahun lalu, banjir merendam sejumlah wilayah di Sulawesi Selatan dan menelan korban jiwa. Sebagian wilayah itu bakal menggelar pilakda. Di Barru dan Maros banjir malah melumpuhkan kota. Adakah wacana ini menjadi perencanaan para tokoh yang bakal bertarung di pilkada.

Jika iya, seperti apa strategi perencanaan kota agar menjadi ruang nyaman warga. Menilik model pembangunan yang seragam, banjir tak bisa dilepaskan semata situasi alam. Asumsi seperti itu sungguh bias dan menajuhkan masalah ke tataran abstrak.

Pilkada tahun 2020 di Sulawesi Selatan pemilihannya bakal digelar pada September. Terhitung masih ada tujuh bulan. Namun, sejauh ini, melalui alat peraga sosialisasi, para bakal calon masih mengulang visi klise. Seolah merebut kota hanyalah lelucon dan seenak perut memajang wajah di balik baliho di tepi jalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun