Mohon tunggu...
F Daus AR
F Daus AR Mohon Tunggu... Freelancer - Narablog

Penggerutu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kelompok Awan Masih Juga Lelap dalam Tidur

28 November 2019   13:05 Diperbarui: 28 November 2019   13:15 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tak karuan. Begitu saya menyebutnya pada obrolan tak bertepi di tepi jalan depan rumah. Benar kata Karl Marx: "Bukan kesadarannya yang menentukan, tetapi situasi sosialnyalah yang jadi penentu".

Menyaksikan itu setiap hari, teringat juga ucapan Seno Gumira Adji Darma: "Masyarakat kita memang bebas dari buta huruf. Tetapi mereka membaca kalau ada potongan harga di toko, mereka membaca kalau sedang mencari alamat, dan mereka membaca jika hendak melihat loker di koran."

Masih terus kujejali walau kadang kala tak paham dengan apa yang dibahas. Kucari terus akar masalahnya sampai mendung bersama gelegar petir membangunkan tidur rumput di halaman. Entah apa yang singgah di benak saat itu, tiba-tiba kubernyanyi tanpa judul. Bunyi-bunyian keluar begitu saja tanpa jeda untuk berfikir. Dan, lagi-lagi mereka berdendang merapal mantra.

Pada hari ini masih terdiam dalam bentuk paling kaku usai menghabiskan film di televisi. Kucerna terus lalu kusimpulkan. Film itu ada kaitannya dengan kampanye privatisasi tanah, udara, dan air. Kemudian kuberjalan ke warung. Heran menyaksikan sebuah botol air mineral dengan ragam merk yang dipajang dengan harga yang beragam pula. 

Kupalingkan wajah lalu berjalan pulang. Seorang anak berusia sekitar Tujuh tahun mendahului langkahku dengan ayuan sepedanya, ia membawa sebotol air mineral paling mahal. Seolah iklan yang diperagakan. Kulanjutkan langkah kaki lebih gegas. Akankah ini akan terjadi terus, dan berhasilkah sekelompok intelektual yang bekerja mengejar uang dan berhasilkah kampanye privatisasi itu. Baru kemudian teringat ucapan teman yang heran saat mengucapkannya padaku, katanya: "Para petani akan membayar air yang ada di sawahnya."

Tambah sesak nafas ini mengingatnya, debu beterbangan di bawah terik matahari. Sempurnalah sudah saat itu. Melambungkan angan yang belum jelas ke mana tujuan akhirnya kelak sampai.

Sesampai di kamar, kuteguk sisa kopi dan membaca koran edisi tahun lalu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun