Telingaku sering diserbu oleh pertanyaan yang sama: "Kapan?" Kapan lulus? Kapan menikah? Kapan punya rumah? Kapan bahagia? Pertanyaan-pertanyaan itu berdesak-desakan, bagai hujan yang tak henti, membasahi setiap langkah dan seringkali membuatku tergesa. Namun, mataku justru melihat sesuatu yang lain: Kafan. Ia tak pernah bertanya. Ia hanya diam, tenang, dan pasti. Dua kata itu, "kapan" dan "kafan", menjadi kutub yang di antara keduanya hidupku berjalan.
"Kapan" adalah janji kita pada diri sendiri. Sebuah janji yang fleksibel; bisa diundur, ditunda, ditata ulang. Kita menunggu momen yang tepat, kondisi yang ideal, dan hati yang benar-benar siap. Kita terjebak dalam ilusi bahwa waktu masih sangat panjang. Sementara itu, "kafan" adalah pengingat dari Sang Maha Pencipta. Ia adalah metafora sempurna untuk kepastian mutlak yang tak kenal kompromi. Ia tidak mempedulikan rencana, jadwal, atau kondisi pasar. Ia hanya menunggu di ujung jalan dengan kesabaran yang menggetarkan.
Dalam perjalanan hidup, kita sibuk memilih motif baju pengantin atau merinci target karier, sementara tanpa kita sadari, Malaikat Izrail mungkin telah berdiri di sudut yang sama, mengamati dengan tenang. Di antara gema Surah Ar-Rahman yang menenangkan dan lantunan Surah Yasin yang menghibur, aku menemukan sebuah kebenaran: waktu bukanlah garis lurus yang kita jalani, tetapi ruang sempit antara doa yang kita panjatkan dan realita yang kita terima.
Lantas, bagaimana kita menjalani hidup di antara dua kutub ini? Bagaimana mengubah kecemasan akan "kapan" menjadi kekuatan dengan mengingat "kafan"?
1. Alihkan dari "Kapan" ke "Apa yang Bisa Dilakukan Sekarang": Daripada bertanya "Kapan aku akan bahagia?", tanyakan "Apa yang bisa membahagiakanku hari ini?". Kebahagiaan seringkali adalah produk sampingan dari tindakan, bukan hasil akhir dari penantian.
2. Sederhanakan Tujuan: "Kafan" mengajarkan kesederhanaan. Terlalu banyak target "kapan" justru membebani. Pilih satu hal yang paling penting dan berikan energi terbaikmu untuk itu sekarang.
3. Jadikan Pengingat Maut sebagai Sumber Syukur: Mengingat kematian bukan untuk ditakuti, tetapi untuk disyukuri. Setiap kali kita teringat pada "kafan", itu adalah pengingat bahwa kita masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri, mencintai lebih dalam, dan berbuat lebih banyak. Itulah anugerah terbesar.
Jadi, ketika pertanyaan "Kapan kamu bahagia?" kembali terdengar, aku kini mencoba untuk tersenyum. Jawabannya tidak lagi ada di masa depan yang samar. Kebahagiaan, dan hidup itu sendiri, berada di antara usaha dan penerimaan. Di antara "kapan" yang kita kejar dan "kafan" yang menunggu dengan setia.
Malam ini, setelah membaca Yasin dan merenungi Ar-Rahman, aku mengangguk pada sang "kafan". Terima kasih telah mengingatkanku bahwa di antara semua ketidakpastian, hanya ada satu hal yang harus kita lakukan: hidup dengan sadar, penuh rasa, dan berani menjalani hari ini tanpa menunda. Karena esok, adalah rahasia yang hanya diketahui oleh-Nya.
Apa pendapatmu? Pernahkah kamu merasa terjebak dalam pertanyaan "kapan"? Bagaimana caramu mengingat untuk hidup di saat sekarang? Bagikan pikiranmu di kolom komentar below.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI