Lima tahun lalu, kala aku turun sore itu, suaminya pergi terburu-buru. Sempat menitip pesan, "Jaga anak kita, jaga sawah kita." Lalu sang suami, berjalan tergesa di atas pematang sawah hingga menghilang dalam pandangan, dalam gerimis. Lalu tiada. Kepergian suami, sangat membekas di ingatan perempuan itu hingga kini. Ingatan yang terulang-ulang terolah membuahkan cerita untuk anaknya yang baru beranjak usia lima tahun, yang mulai bertanya kapan Ayah pulang. "Ayahmu tidak bisa pulang lagi. Ayahmu telah luruh dimakan gerimis. Lalu menyesap dalam tanah sawah kita."
Anaknya begitu senang mendengar cerita ibunya. Anaknya berlari di atas pematang sawah. Dalam bayangnya, ayah ada di sawah. Telah menyatu bersama rumpun padi yang menguning. Dibayangkan dirinya burung hujan. Dikepakkan kedua tangannya sambil berlari. Jantungnya berdegup kencang bahagia. Lelah ia, berdiri sejenak. Dihirup dalam-dalam udara tanah sawah yang khas. Meleleh air mata di sudut matanya bersama gerimisku.
Karena dingin, suhu tubuh normal si anak menurun. Mengembangkan pula secuil daging serupa balon di pangkal hidungnya yang menghambat aliran oksigen keluar-masuk. Tersengal-sengal si anak. Memaksa diri untuk bernafas. Terhirup gerimisku yang telah terkontaminasi debu dan zat-zat merusak tubuh yang manusia sendiri ciptakan. Makin berpacu jantungnya. Si anak pun tumbang pingsan di rerumpun padi, dalam pelukan ayah.
***
Di taman belakang puskesmas, perempuan itu terus membiarkan wajah dipapar gerimisku. Air mata meleleh jatuh dari sudut matanya. Mengingatkanku pada air mata anaknya yang meleleh bersamaku.
"Kenapa kau makan anakku, Gerimis?" hati perempuan itu bertanya padaku. Karena tak bisa ikut masuk melihat anaknya di ruang UGD, perempuan itu datang memelukku.
Aku menjawab dengan bertanya, "Kenapa kau ceritakan pada anakmu, bahwa ayahnya luruh dimakan gerimis dan tersesap dalam tanah sawah bersamaku?"
"Aku tak bisa berterus terang. Bagaimana bisa kubilang ayahnya telah tiada. Setiap kau turun, membuncah hatinya. Menyala binar matanya. Tersenyum bibirnya. Ia merasakan ayahnya hadir di sawah bersamamu. Jadi, bagaimana bisa kuberi pengertian padanya agar tak mati nyala hatinya, tak redup binar matanya, tak hilang senyumnya? Aku tak tega memenggal kebahagiaannya. Maka, kubiarkan ia bermain dalam pelukanmu."
Perempuan itu telah menjawab sendiri atas resah hatinya. "Suamiku telah kau makan. Jangan kini kau makan pula anakku."
Aku sesungguhnya tidak memakan kekuatan anaknya. Tidak pula menghilangkan suaminya. Aku pada hakikatnya bersih dan suci. Namun, udara yang mengandung debu dan zat-zat beracun itu, ikut menempel bersamaku. Kubiarkan diriku kotor demi bersih udara buat manusia. Bukankah sejuk udara merasuk dada saat dan usai gerimis datang?
Akan tetapi, sejuk gerimis berubah mengiris sejak yang tercinta menghilang dalam gerimis. Sang suami bergegas pergi karena nyawa terancam. Suami tak punya kekuatan melawan dan melindungi diri. Hanya punya mulut yang lantang memprotes keras himbauan dan rayuan kepala desa menjual sawah untuk dialihfungsikan jadi industri dan pabrik. Kepala desa sangat tergiur dengan fee besar yang dijanjikan perusahaan dari setiap meter tanah terjual.