Ingatkah beberapa warsa lalu saat jemari kita saling bertaut? Lima jemari kirimu menyusup pada celah jemari kananku. Hangat. Pekat kabut tak kuasa menusukkan dingin pada pori-pori yang bahkan terbuka.
Di pagar tepian telaga kita duduk, membelakangi belantara hutan pinus. Gerimis menjadikan wangi pinus sempurna berbaur dengan aroma tanah yang basah. Segaris senyum di wajah teduhmu membuat kata yang kuhimpun berberaian. Serasa memasuki sebuah labirin rasa lalu tak mampu mengejawantahkan dalam kata.
“Tak akan ada kata yang mampu mewakilinya, jadi usah berkata.”
Aku mengangguk setuju. Dingin Gunung Lawu tak kurasai. Kecipak air telaga melanting di ujung jemari kaki, basah. Tapi dinginnya tak sampai membuat kudukku berdiri.
Gerimis masih mendominasi, tapi kita tak juga bertandang ke warung kopi. Masih menikmati. Rasa yang abadi.
***
(masih) Duduk di pagar tepian telaga, membelakangi hutan pinus. Kabut pekat. Gerimis. Wangi pinus. Aroma tanah basah. Semua nampak masih sama. Kecuali dinginnya. Tubuh menggigil hebat. Kutangkupkan sepuluh jari, mengisi sela jemari kanan dengan jemari kiri. Karena kali ini aku datang sendiri.
[caption id="attachment_150981" align="aligncenter" width="300" caption="Narsis ah, yang motoin Babeh Helmi lho :D"][/caption]