Mohon tunggu...
Fawaizzah Watie
Fawaizzah Watie Mohon Tunggu... wiraswasta -

Perempuan. Duapuluhan. \r\n\r\n\r\nhttp://fawaizzah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menunggu Selesai Berdandan

31 Oktober 2012   03:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:11 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dengan malu-malu aku kembali menemuinya sambil membawa dua cangkir teh hangat.  “Kenapa lama sekali?” tanyanya tanpa memalingkan wajahnya padaku begitu aku meletakkan cangkir di meja.  Entah dia memang sedang benar-benar sibuk dengan gadgetnya ataukah hanya berpura-pura saja.

“Ehm,” aku sengaja berdehem untuk menarik perhatiannya.  Dia menoleh.  Diam.

Mungkin warna blush on yang tadi kusapukan tipis ke pipi kini terkesan tebal.  Ya, karena rona alami pipi tampak menyembul sempurna begitu aku tersipu tiba-tiba.  Dengan detakan jantung yang kembali tidak normal, aku menunggunya mengatakan sesuatu.

Ia mengernyitkan dahi, “Kenapa berdandan?”  Aku semakin terdiam karenanya.  Sungguh, ini adalah kekecewaan pertamaku di hari ini.

Aku menjadi merasa aneh.  Maksudku, apakah dandananku aneh hingga ia harus bertanya seperti itu?  Tak cukup cantikkah aku dihadapannya?  Atau memang bukan hal yang mudah baginya memberiku sedikit saja pujian?  Apa susahnya berkata, “Hei, kamu makin cantik.”

“Hmm…” gumamnya.  Mungkin ia akan memperbaiki pertanyaannya atau mungkin menambahkan kata-kata yang lain, tapi aku terlanjur malas untuk mendengarnya bicara lebih banyak.

“Kenapa berdandan?” dia justru mengulangi pertanyaan yang sama hingga membuatku semakin kesal dibuatnya.  Dengan masih menatapku, ia melanjutkan,”Kita kan tak mau kemana-mana,”  katanya.  Dengan suara yang lebih lembut.

Dan aku tak menjawab, tak bisa menjawab lebih tepatnya.  Kupikir ini hanya naluri, di mana seorang perempuan selalu ingin tampil cantik ketika menemui lelaki yang dikaguminya.  Yang dicintainya.  Tapi entahlah, toh aku juga seringkali berdandan ketika pergi, ketika tak hendak menemui siapa pun, hanya pergi.  Ataukah untuk lebih mempercaya diri?  Ah, sepertinya sebagai bentuk menghargai diri lebih tepat.

Aku tahu dari tatapannya bahwa dia masih menunggu jawaban.  Banyak kata-kata yang berdesakan di pikiranku, tapi aku tak menemukan kalimat singkat yang tepat.  Maka aku justru mengembalikan tanya padanya.

“Salahkah jika aku berdandan untukmu?”  Pupil matanya melebar lalu ia tersenyum dan tak berkata-kata, mungkin salah tingkah.  Melihatnya begitu, ingin rasanya aku bertanya pada Tuhan, kenapa Ia menciptakan lelaki ini begitu sulit melisankan perasaannya.

Ah, sudahlah, yang pasti setelah itu dia tak lagi bertanya hal yang sama, seberapa lama pun dia menungguku selesai berdandan.

SUMBER GAMBAR

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun