Mohon tunggu...
Fauziyyah Putri Awalia
Fauziyyah Putri Awalia Mohon Tunggu... -

Terobsesi menjadi jurnalis profesional !

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bojong Kokosan: “The First Convoy Battle in Indonesia”

22 Mei 2014   17:03 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:14 880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14044774901728590481

Proklamasi kemerdekaan yang dibacakan Ir. Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak serta merta membuat pejuang Indonesia bisa menghirup udara segar begitu saja. Perjuangan mereka belum berhenti. Kemerdekaan yang sudah digenggam, tidak menyurutkan keinginan sekutu untuk tetap memiliki Indonesia kembali. Meskipun begitu, semangat juang tinggi yang dimiliki rakyat Indonesia mampu mengalahkan sekutu dalam merebut kemerdekaan Indonesia.

Kisah perjuangan mempertahankan kemerdekaan itu pun banyak tercatat dalam beragam tulisan mengenai sejarah Indonesia. Namun, ada satu peristiwa besar yang masih luput dari perhatian masyarakat pada masa kini, yakni pertempuran konvoi Bojong Kokosan yang berlangsung dari 9 Desember 1945 hingga 12 Desember 1945. Disebut pertempuran konvoi, karena pertempuran  terjadi saat sekutu menyelenggarakan konvoi (iring-iringan) kendaraan di jalan raya dengan kawalan ketat oleh mobil-mobil lapis baja dan tank-tank tempur untuk memperkuat pasukannya di Bandung. Dalam buku Pertempuran Konvoi Sukabumi-Cianjur 1945-1946, peristiwa ini tercatat sebagai perang konvoi pertama di Indonesia (The First Convoy Battle in Indonesia), perang antara lapisan masyarakat melawan sekutu pemenang perang dunia kedua. Peristiwa ini juga tercatat dalam sejarah internasional, namun tidak banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia.

Jika Anda berkunjung ke Sukabumi, tepat di daerah Bojong Kokosan, terdapat sebuah museum yang dinamakan persis seperti nama daerahnya, Museum Palagan Bojong Kokosan. Museum ini menyimpan cerita besar mengenai perjuangan semua lapisan masyarakat setempat demi mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diraihnya. Rabu, 7 Mei 2014 lalu, saya berkesempatan untuk mengunjungi museum ini dan mendengarkan kisah mengenai peristiwa Bojong Kokosan tersebut.

Wawan Suwandi, seorang pemandu museum ini tidak sungkan menghabiskan waktu untuk menceritakan peristiwa Bojong Kokosan kepada setiap pengunjung museum. “Peristiwa Bojong Kokosan itu merupakan peristiwa besar. Tapi sejauh ini tidak banyak orang tahu sejarahnya. Saya tidak apa-apa bekerja sebagai pemandu di sini tidak digaji. Saya senang berbagi sejarah. Apalagi bapak saya salah satu pejuang Bojong Kokosan”. Ungkapnya.

[caption id="attachment_346294" align="aligncenter" width="300" caption="Patung Panitia Lima, ikon dari Museum Palagan Bojong Kokosan di Sukabumi, Rabu (7/5)."][/caption]

Wawan Suwandi menjelaskan, sejarah Bojong Kokosan diawali pasca kemerdekaan. Warga Sukabumi bersama-sama menghadiri pengibaran bendera merah putih pertama kali di Lapang Merdeka, Sukabumi (dulu lapang ini dikenal dengan Victoria Park). Setelah pengibaran dilakukan, mereka bergegas berkumpul di aula Gedung Juang 45 yang terletak tidak jauh dari Lapang Merdeka. Pada pertemuan itu disusun rencana pengusiran total tentara Jepang maupun Belanda yang masih menetap di daerah, terutama Sukabumi. Saat itu pula, dibentuk Panitia Lima yang terdiri dari unsur Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID), kepolisian, alim ulama, dan masyarakat biasa. Panitia Lima ini lah yang kini menjadi ikon patung dari museum Palagan Bojong Kokosan.

Pada masa penjajahan dulu, ada pepatah, ‘Jika ingin menguasai Indonesia, maka kuasai lah Jawa Barat terlebih dahulu. Kuasai Bandung’. Sepertinya, pepatah ini dipegang erat oleh kaum sekutu, Belanda. Pasalnya, benar adanya mereka berencana menuju Bandung, Jawa Barat melalui Sukabumi untuk membuat pertahanan. Saat itu agar bisa masuk dengan ‘aman’, Belanda mengikuti di belakang tentara Inggris yang tengah bertugas memulangkan tawanan mereka di Indonesia. Namun, rencana tersebut diketahui oleh para pejuang yang ada di daerah, termasuk Sukabumi.

Mengetahui rencana tentara sekutu, maka pejuang Sukabumi yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Eddie Soekardi menyusun strategi dan taktik melawan sekutu untuk mencegah masuknya tentara mereka ke wilayah Bandung. Eddie pun menempatkan empat batalyon di beberapa titik, mulai dari Cigombong hingga Gekbrong, perbatasan Sukabumi-Cianjur.

Ketika tentara sekutu mulai memasuki wilayah Sukabumi, semua pejuang telah bersiap di posisinya masing-masing. Mereka membiarkan sekutu masuk terlebih dahulu ke dalam perangkap, sebelum akhirnya diserang di daerah Bojong Kokosan. Strategi menyerang di Bojong Kokosan memang telah disusun Eddie sedemikian rupa. Bojong Kokosan merupakan tempat yang dianggap paling srategis, karena secara geografis, wilayah ini diapit oleh dua tebing yang memudahkan penyerangan dari atas. Strategi perang ini dinamakan Eddie dengan ‘memukul ular berbisa’, hal ini didasarkan pula pada bentuk jalan yang berkelok-kelok di wilayah Sukabumi. Tentara sekutu yang datang dari Cigombong diibaratkan seekor ular (karena tengah berkonvoi), yang kurang lebih panjangnya 12 kilo meter, mulai dari ekornya di Cigombong, hingga kepalanya di Bojong Kokosan.

Akhirnya penyerangan pun dimulai saat ‘kepala’ tentara sekutu berada di Bojong Kokosan pada tanggal 9 Desember 1945. Semua lapisan masyarakat Sukabumi ikut berperang, bahkan kalangan wanita pun tidak ingin ketinggalan ikut mempertahankan wilayahnya. Penyerangan ini dikenal sejarah internasional sebagai The First Convoy Battle in Indonesia. Hal tersebut tercatat dalam buku Pertempuran Konvoi Sukabumi-Cianjur 1945-1946. Bahkan Kolonel Doulton dari pihak sekutu yang saat itu juga terlibat dalam konvoi, turut menuliskan peristiwa besar tersebut melalui buku The Fighting Cock.

Diceritakan oleh pemandu museum, Wawan, sekutu yang terkejut tak mampu berkutik dari serangan yang diluncurkan pada peristiwa tersebut. Pada penyerangan itu, taktik yang dirancang Eddie sebenarnya adalah ‘Hit and Run’. Menyerang, kemudian mundur. Namun, semangat yang dimiliki pejuang Sukabumi saat itu begitu besar dan bergejolak, hingga mereka lupa pada taktik awal, ‘Hit and Run’. Mereka terus menggempur sekutu selama sekitar satu jam, dan lupa untuk melarikan diri secepat mungkin. Akibatnya, resiko yang ditanggung pejuang ini adalah kehabisan senjata.

Menyadari masyarakat Sukabumi yang kehabisan senjata, sekutu pun berbalik menyerang dengan membabi buta. Mereka menaiki tebing pertahanan di Bojong Kokosan, mengebom, menembaki, hingga 12 orang pejuang kita tewas dalam penyerangan tersebut. Ketika berada pada peristiwa genting itu, masih menurut Wawan, hujan besar turun disertai kabut yang tebal. Tentu saja kesempatan ini dimanfaatkan pejuang untuk bergerak mundur. Turunnya hujan disertai kabut tebal pada pertempuran di Bojong Kokosan ini pun tercatat pada buku The Fighting Cock, The Story of The 23 Indian Division Chapter 21 dikenal dengan ‘cloud over Java’. Jika ditinjau dari kepercayaan agama, masyarakat percaya keajaiban tersebut datangnya dari Tuhan Yang Maha Esa.

Saat kabut masih menyelimuti Bojong Kokosan, sekutu meluncurkan serangan udara dengan memborbardir wilayah ini. Sayangnya, serangan yang mereka luncurkan tanpa perhitungan yang tepat. Sudah tidak ada lagi masyarakat Sukabumi, justru mereka memborbardir tentaranya sendiri.

Pertempuran yang terjadi pada 9 Desember 1945 ini cukup banyak merugikan tentara sekutu. Bahkan komandan dari pihak sekutu terkena sasaran granat dan menderita luka parah, hal ini pula yang mendasari pertempuran ini menjadi perbincangan dunia internasional. Karena merasa harkat dan martabatnya direndahkan, maka sekutu meluapkan amarahnya dengan memborbardir kawasan Cibadak, tak jauh dari Bojong Kokosan, pada 10 Desember 1945. Sekutu beranggapan kawasan Cibadak merupakan benteng pertahanan TKR, padahal daerah ini hanya berisi pasar tradisional. Meski begitu, pengeboman yang dilakukan sekutu merupakan salah satu pengeboman terbesar di Jawa Barat, bahkan hingga menghabiskan anggaran tentara sekutu. Pasalnya, sekutu merasa gengsi dan marah, apalagi petinggi tentara mereka juga turut tewas dalam penyerangan.

Setelah pertempuran berakhir, jumlah korban dari para pejuang Bojong Kokosan disebut sebanyak 73 orang. Sedangkan dari tentara sekutu sekitar 50 orang tewas dan ratusan lainnya mengalami luka parah.

Hebatnya, penyerangan Bojong Kokosan ini tidak hanya melibatkan kaum intelektual saja seperti pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, tapi melibatkan semua lapisan masyarakat, tanpa memandang kedudukan ataupun status seseorang. Namun sayang, justru pertempuran di Bojong Kokosan ini masih banyak tidak diketahui masyarakat Indonesia secara luas, padahal peristiwa ini sama besarnya dengan perjuangan di Surabaya pada 10 November 1945.

Maka dari itu, untuk mengenang perjuangan rakyat Sukabumi, para pejuang yang masih hidup mendirikan Museum Palagan Bojong Kokosan tahun 1992.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun