Mohon tunggu...
Handoko F. Arif
Handoko F. Arif Mohon Tunggu... Konsultan - Handoko F. Arif

Suka aja mendengar dan berbagi ilmu, apalagi sambil ngopi di warkop.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Keanehan Konflik Partai Hanura

22 Januari 2018   04:23 Diperbarui: 22 Januari 2018   04:44 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebelumnya saya bukan pengamat politik, tapi saya suka belajar tentang politik. Politik menurut Aristoteles (teori klasik) adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Demi mewujudkan kebaikan bersama inilah yang membuat saya menyukai politik.

Demi mengaplikasikan hal yang saya suka, maka saya ingin mencoba untuk menganalisis situasi yang berhubungan dengan politik. Pilihan saya tertuju pada permasalahan dualisme kepemimpinan di Partai Hanura. Menurut saya, ada sesuatu keanehan terhadap konflik yang dihadapi oleh partai yang dilahirkan pada tahun 2006 tersebut.

Pertama, sekretaris Jendral memecat ketua umum. Secara struktural, hal ini sangat lucu. Lucunya terletak pada jabatan Sekjen memecat Ketum. Tapi, tentu setiap organisasi memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) sendiri. Bila Partai Hanura memiliki landasan bahwa Sekjen bisa memecat Ketum, maka, hal ini bisa dikatakan sangat lumrah.

Kedua, cepat-cepat ganti ketua umum. Selang tiga hari (18/01/18), kubu Sarifuddin Sudding melaksanakan Munaslub di Kantor DPP Hanura Jakarta untuk menetapkan Daryatmo sebagai Ketua Umum. Kisah cerita ini seperti menuju kemerdekaan Republik Indonesia, beda cerita tentunya, namun memiliki tujuan yang sama yaitu untuk klaim. Hal ini yang dilakukan Hanura kubu Sudding. Ia ingin mengklaim bahwa Hanura sudah memecat OSO dan digantikan oleh Daryatmo sesuai AD/ART mereka. Tujuannya adalah agar SK kepengurusan OSO bisa dirubah menjadi Daryatmo di Kemenkumham.

Ketiga, sama-sama memiliki persetujuan dari Wiranto bahwa mereka merupakan kepengurusan yang sah. Hal ini wajar dalam dualisme kepemimpinan organisasi bahwa mempunyai klaim dari "Tiang Sepuh". Ini yang dibingungkan, sebenarnya Wiranto berpihak pada siapa. Jika hal ini tidak diluruskan, maka, masalah ini akan merembet kemana-mana dari Jakarta sampai ke Surabaya seperti itu analoginya.

Keempat, lambannya Wiranto dalam menyelesaikan kasus Hanura. Sebagai menteri ia tidak memiliki waktu yang banyak untuk segera menyudahi masalah partainya. Pada (16/01/18) dilansir kompas.com, ia mengaku ingin menyelesaikan internal Hanura. Ia masih mengusahakan dalam koridor sesuai AD/ART partai dan jalur musyawarah antar kader Hanura untuk mengakhiri perseturuan partainya. Pada prosesnya sampai (22/01/18) belum ada titik temu bagaimana hasil penyelesaiannya.

Kelima, tidak adanya kedewasaan antar anggota Partai. Tidak perlu diperdebatkan lagi, jika tidak memiliki kedewasaan, maka Hanura tidak bisa diselamatkan. Antar kubu saling melontarkan kesalahan kubu lain, saling mengklaim bahwa kepengurusan sah, tidak ada yang mau mengalah dan legowo. Ada pepatah "Tua itu pasti, dewasa itu pilihan".

Terkait konflik yang dihadapi Hanura ini, saya berharap segera rampung. Sebab, hal ini akan menggangu konsentrasi Hanura dalam mempersiapkan Pilkada 2018. Selain itu juga, akan mengganggu kepercayaan masyarakat terhadap Hanura dan lebih memilih menyoblos JKT48 di senbatsu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun