Kala, saat semua masih tentang kita. Aku bertakata pada keheningan, mungkin aku telah kehilangan diri sendiri saat aku tengah memperjuangankan senyummu. Saat itu aku mulai berpikir bahwa mungkin aku harus melepasmu agar aku bisa kembali menemukan diriku lagi. Hampir! Aku mencari waktu yang sempurna untuk pergi, meninggalkan segala bayangan yang acap kali membuatku tersenyum merintih. Namun sial, aku tidak pernah menemukan waktu itu, dimana tidak ada yang harus terluka karenanya. Nyatanya memang tidak, karena perpisahan selalu saja menyisakan ruang pilu selembut apapun caraku menyudahinya. Kuberanikan meski dengan mata sembap dan dada yang membuncah, sebab setelah  melalui malam-malam panjang memikirkan segala resiko yang siap menikamku kapanpun ia mau, aku tidak lagi tenang karenanya.Â
"Aku pergi" Kataku.
"Kenapa?" Ujarmu sedikit kesal.
"Aku butuh ruang untuk diriku sendiri"
Aku tahu kamu kesal, tapi bagimu kebahagiaanku lebih penting dari apapun. Seperti dugaanku, kamu membiarkanku berlalu sembari tersenyum dan berkata, perasaanku untukmu akan tetap sama sampai kapanpun.
Setelah itu KITA telah berubah menjadi sebatas aku dan juga kamu. Waktu kian berlalu, menyisakan rindu dalam ruang memori, harapku bisa melupakanmu dan satu-satunya fokusku hanyalah menguatkan jiwaku. Jiwa yang telah lama layu, hilang dan kupikir sudah hampir mati. Lagi-lagi sial! Hingga detik ini aku tidak pernah menemukan apa-apa. Parahnya, aku semakin kehilangan arah, cemas, khawatir dan aku semakin merindukanmu di sisa ujung malamku. Saat ini aku baru sadar, aku melepasmu untuk mencari diriku sendiri. Namun nyatanya aku tidak pernah benar-benar menemukannya. Aku kehilangan dua-duanya. Aku kehilanganmu dan kehilangan jiwaku