Idul Fitri kali ini saya manfaatkan sepenuhnya sebagai ajang silaturrahim. Yaa, mungkin semua orang juga melakukan hal yang sama. Namun tentu akan berbeda rasanya jika perjalanan yang dilakukan itu pengalaman pertama. Biasanya yang pertama itu selalu mengesannya.
Pertama kali dalam hidup merayakan lebaran tanpa orang tua dan saudara-saudara tercinta. Pertama kali juga keluar kandang (merantau di luar tanah kelahiran). Momen pertama itu selalu memberikan kesan yang berbeda. Seperti kata orang, “Kesan pertama begitu menggoda, seterusnya ya terserah anda”. Hehee...
Perjalanan kali ini bertema menyambung silaturrahim. Punya saudara di luar daerah yang jarang pulang kampung halaman bahkan dalam jangka waktu bertahun-tahun. Ini adalah salah satu penyebab renggangnya hubungan keluarga. Dimana tidak adanya keakraban antara satu dan lainnya karena saling tidak mengenal.
Saya orang Aceh asli yang kini sedang merantau di Bumi Siliwangi. Liburan Idul Fitri kali ini membuat saya harus memilih antara mudik ke kampung halaman atau pilihan hemat lainnya mudik ke tempat saudara yang berdomisili di perbatasan ibu kota. Pilihan pertama samasekali tidak efisien karena baru beberapa minggu saya berangkat dari sana. Pilihan kedua sedikit beresiko, selain belum tahu alamat juga belum mengenal samasekali sanak saudara yang ingin di kunjungi.
Berkat kecanggihan komunikasi saat ini, Alhamdulillah semuanya berjalan lancar dan saya berhasil sampai ke tujuan. Dan disinilah awal perjalanan saya mengenal sanak famili dan mengenal lebih dekat ibu kota Indonesia. Jakarta.... i’m coming!!!
Perjalanan dimulai dari Bekasi yang hanya dalam hitungan beberapa menit untuk menembus ibu kota, Jakarta. Hari pertama sampai ke tiga liburan masih di manfaatkan untuk bersilaturrahim ke rumah-rumah ahli famili. Mulai dari saudara dekat sampai saudara jauh. Hari-hari berikutnya baru melakukan perjalanan wisata ke tempat-tempat hiburan.
Hampir tidak terhafal sudah berapa tempat yang dikunjungi. Namun tentu saja ada tempat-tempat yang sangat berkesan.
Narsis bersama keluarga di Tugu Monas. Bagi yang sudah sering, agak sedikit norak siih untuk bercerita tentang Tugu Monas tapi kalau noraknya bareng-bareng pasti seru. Inspirasi memang selalu tidak bertepi. Melihat teman-teman saya yang sebagian besar sudah bernorak ria di luar negeri bersama kangguru, tempat bersalju atau padang pasir di belahan bumi lain mendorong saya untuk menuliskan perjalanan ini. Untuk menghibur diri sendiri saja.
Tidak kalah hebohnya, si bule rambut gimbal inipun juga ini menikmati perjalanan indahnya mengunjungi Monas kebanggaan orang Indonesia. Rela mengantri sampai tiga jam untuk bisa menaiki puncak monas. Terbayang rambut gimbalnya akan lurus gara-gara kelamaan antri. Xixiii...
Sayangnya karena hari itu kebetulan hari Jum’at waktu agak singkat. Tidak bisa singgah di mesjid Istiqlal yang padat dengan kaum adam yang sedang melaksanakan kewajibannya. Ya sudahlah, kata kakak saya ambil latarnya saja.
Perjalanan menuju keluar dari Mesium Monas bersama keponakan paling kecil yang sangat lucu. Capek jadi hilang kalau mendengar celotehannya.
Berada dalam kendaraanpun tetap menyenangkan dengan saling berbagi bercerita. Dari cerita lucu sampai yang konyol. Beginilah suasana di tengah perjalanan.
Aya sangat senang di foto. Celotehan khas aya "potoin doong!"...
Untuk mencari kenyamanan dan melaksanakan kewajiban, akhirnya mesjid At-tin jadi pilihan karena lebih sepi pengunjung. Lumayan unik arsitekturnya, langsung deh jeprat jepret lagi.
Perjalanan ke Tugu Monas lebih berkesan dikarenakan beberapa alasan;
1.Karena bisa lebih mengenal sejarah perjuangan pejuang kita dulu dalam merebut kemerdekaan. Sambil menikmati ilustrasi kejadian bersejarah yang kelihatan begitu nyata dan tertata rapi di mesium monas.
2.Bisa lebih mensyukuri nikmatkan kemerdekaan yang kita peroleh sekarang.
3.Belajar bersabar dengan antrian pengunjung untuk pembelian tiket. Anggap saja sebagai ajang untuk membentuk kepribadian agar lebih santun bukan saling mendahului.
4.Merasa diri bangga menjadi warga negara indonesia di tengah kisruh negri ini yang tidak pernah berhenti.
5.Memupuk jiwa patriotisme yang terbawa arus globalisasi.
Semoga perjalanan saya ini juga bisa menjadi bacaan bermanfaat untuk para pembaca. Norak dan narsis tidak selamanya berdampak negatif. Ayo kita ciptakan norak dan narsis sebagai ajang untuk memupuk rasa patriotis. “Aku anak Indonesia, maka aku sangat bangga”. Tanamkan dalam-dalam untuk diri sendiri dan generasi penerus negri ini. Aku cinta Indonesia.