Mohon tunggu...
Fauzan Zidni
Fauzan Zidni Mohon Tunggu... -

political scientist and public policy analyst by training

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Paradoks Inovasi Teknologi Alat Kesehatan

14 Maret 2016   10:40 Diperbarui: 14 Maret 2016   14:28 1149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi - uji alat kesehatan (Shutterstock)"][/caption]Kolom opini Kepala Balitbangkes, Siswanto, di Republika Senin (29/2) menggambarkan situasi ideal pengembangan teknologi kesehatan baik obat maupun alat kesehatan yang patut didukung. Dalam artikel tersebut, Siswanto berargumen tentang pentingnya prinsip pelayanan pengobatan berbasis bukti (evidence based medicine) yang dianut oleh otoritas pemberi izin edar di Indonesia, yaitu BPOM untuk obat dan Dirjen Faralkes untuk alat kesehatan.

Tetapi pada kenyataannya, perkembangan teknologi kesehatan di negara berkembang seperti Indonesia penuh paradoks, dan sarat atas konflik kepentingan. Di satu sisi, pemerintah perlu melindungi masyarakat dari teknologi yang dianggap belum terbukti sehingga pembuktian melalui uji klinis sebelum diedarkan menjadi sebuah keharusan. Di sisi lain, infrastruktur yang dibutuhkan untuk melaksanakan uji klinis sangat terbatas, seperti fasilitas penelitian, tenaga dokter peneliti, penguasaan terhadap Good Clinical Practice (GCP), putusan komite etik yang bisa diterima secara luas, dan regulasi yang melindungi peneliti maupun pasien. Biaya yang dibutuhkan untuk melakukan uji klinis teknologi baru juga sangat besar, dengan tingkat kesuksesan eksperimen yang sangat rendah.

Meskipun memiliki urgensi yang sama penting dengan farmasi, inovasi teknologi alat kesehatan selama ini menjadi topik yang kerap diabaikan. Berbeda dengan industri farmasi yang sudah lebih mapan secara industri dan telah didukung oleh regulasi yang dibutuhkan, Menurut data Kemenkes tahun 2014, untuk pemenuhan alat kesehatan, Indonesia memiliki ketergantungan impor yang sangat tinggi, yaitu 94%, dengan pangsa pasar domestik sebesar Rp 12 triliun. Produk lokal yang dikembangkan produsen dalam negeri masih berkutat pada produk teknologi rendah, seperti tempat tidur rumah sakit, inkubator bayi dan alat-alat kesehatan habis pakai, dengan bahan baku 95%-nya berasal dari impor.  

Dengan kondisi pasar seperti itu, bisa dimengerti apabila fokus regulasi yang dimiliki oleh Kemenkes selama ini terbatas pada izin produksi yang diatur melalui Permenkes 1189/2010 tentang Produksi Alat Kesehatan, dan izin edar yang diatur melalui Permenkes 1190/2010 tentang Izin Edar Alat Kesehatan dan 1191/2010 tentang Izin Penyalur Alat Kesehatan.

Apabila aturan uji klinis untuk pengembangan farmasi sudah diatur melalui Permenkes No 66/2013 tentang Penyelenggaraan Registry Penelitian Klinik dan Peraturan Kabadan POM No 9/2014 tentang Tata Laksana Persetujuan Uji Klinik, untuk alat kesehatan regulasi yang ada hanya Permenkes 1190 yang menyatakan kategori alat kesehatan kelas 3 diperlukan uji klinis sebelum bisa diedarkan, dan PP No 72/1998 yang menyatakan sediaan alat kesehatan yang dimohonkan untuk memperoleh izin edar diuji dari segi mutu, keamanan, dan kemanfaatan. 

Bagaimana mekanisme uji klinis dilakukan, kepada siapa pengembang teknologi harus mendaftar uji, dan siapa yang berhak memberikan penilaian, belum diatur secara khusus. Hal ini dikarenakan belum pernah ada produsen dalam negeri mengajukan izin untuk alat kesehatan kelas 3. Sedangkan alat kesehatan kelas 1 dan 2, uji alat yang dilakukan hanya sesuai dengan standar yang dimiliki oleh produsen, belum dalam standar yang diatur regulasi.

Minimnya uji klinis yang dilakukan di Indonesia sebenarnya bukan hanya di sektor alat kesehatan. Portal registri penyakit Indonesia milik Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik (PTTKEK) Balitbangkes hanya mencatat 9 studi yang sedang dilakukan. Informasi tentang uji klinis farmasi yang didaftarkan di BPOM tidak tersedia. Sedangkan dari portal www.clinicaltrial.gov, didapat 288 uji yang pernah dilakukan Indonesia, dengan 62 uji yang masih berjalan. Angka ini sangat rendah dibandingkan negara tetangga seperti Filipina 779 uji, Malaysia 833 uji, Singapore 1,565 uji, dan Thailand 1,860 uji.

Melihat contoh kasus Warsito, sejak tahun 2012 sudah mengirimkan surat kepada Menteri Kesehatan meminta untuk diberikan arahan dan jalan keluar atas temuan ECCT dan ECVT agar dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Etichal Clearance dari Balitbangkes untuk ECVT dan ECCT untuk dapat digunakan pada obyek manusia sudah dikeluarkan pada tahun 2012 dan 2013. Kerjasama dengan Balitbangkes yang disepakati setelahnya memiliki banyak kendala, seperti tidak adanya mekanisme transfer biaya dari swasta ke pemerintah untuk melakukan penelitian, kurangnya kepercayaan diantara pihak yang terlibat, dan keterbatasan tenaga peniliti yang ada. Masalah yang ada dibiarkan larut tanpa ada penyelesaian hingga menjadi konflik panjang antara Kemenkes, profesi dokter, pasien dan Warsito akhir tahun 2015.

Gagalnya riset bersama antara Kemenkes dan Warsito sangat disayangkan, apalagi melihat fakta bahwa kanker semakin menjadi beban ekonomi yang memberatkan Negara dan masyarakat. BPJS Kesehatan pada tahun 2014 mencatat pendanaan pengobatan kanker sebesar Rp 2 Trilyun. Studi ASEAN Cost In Onclogy (ACTION) mengungkapkan 70 persen pasien kanker meninggal dengan terbebani soal keuangan setelah satu tahun terdiagnosis. Lebih dari 40% survivor jatuh miskin membiayai terapi pada satu tahun pertama. Menurut data Riskesdas Kemenkes 2013 Indonesia memiliki prevalensi kanker mencapai 4,3 per 1,000 orang, diperkirakan terdapat 1 juta penderita kanker. Sedangkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada hanya sanggup menangani 15% pasien kanker, terdapat hanya di 24 Rumah Sakit, sebagian besar di Jawa. Pasien juga terpaksa menunggu berbulan-bulan untuk melakukan operasi maupun radioterapi.

Karena permasalahan yang begitu rumit, Kemenkes sebagai regulator diharapkan membuat kebijakan-kebijakan yang lebih interventif agar industri pengembangan teknologi kesehatan bisa tumbuh dan menjadi bagian dari solusi. Segala kegaduhan yang terjadi terkait ECCT dan ECVT sebenarnya bisa dihindari apabila regulasi turunan dari UU No 36/2009 tentang Kesehatan untuk mengatur uji klinis alat kesehatan segera dibuat ketika Warsito meminta arahan empat tahun lalu. Sehingga semua pemangku kepentingan bisa berlaku sesuai aturan main, bukan berdasarkan opini atau hanya mengambil referensi negara lain.

Balitbangkes pernah melakukan terobosan regulasi dalam meningkatkan inovasi lewat Permenkes 003/2010 tentang saintifikasi jamu dalam penelitian berbasiskan pelayanan. Ini juga bisa dijadikan yurisprudensi bagi kemungkinan saintifikasi alat kesehatan untuk membantu pasien yang sudah berada dalam tahap paliatif atau menjadi terapi komplementer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun