Mohon tunggu...
Fauzan Rivito Nugraha
Fauzan Rivito Nugraha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Airlangga program studi Akuntansi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perang Russia-Ukraina, Siapa yang salah?

16 Juni 2022   14:19 Diperbarui: 25 September 2023   17:07 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perang di Ukraina sebagaimana perang-perang yang pernah terjadi pada perjalanan sejarah dunia ini telah menyebabkan kematian ribuan orang, kehancuran kota-kota dan mengakibatkan perpindahan jutaan orang pengungsi, serta menimbulkan ketidakstabilan keamanan global. Dosa siapakah tragedi ini?

Narasi di media yang banyak menyebutkan keinginan Ukraina untuk bergabung kepada NATO dilihat oleh sebagian besar masyarakat global sebagai niatan yang dianggap kurang bijaksana, namun di sisi lain hal ini juga tidak bisa menjadi alasan untuk menyalahkan sebagai dosa Ukraina. Lantas apakah menjadi dosa bagi Rusia, mayoritas opini pun mengarahkan demikian, mengingat posisi Rusia yang memang melakukan operasi militer di tanah Ukraina. Namun bisa dipastikan Rusia memiliki alasan dalam melakukan hal tersebut. Ataukah menjadi dosa Amerika, mengingat sejarah kelam hubungannya dengan Rusia pada perang dingin.

Terdapat beberapa analisis terutama dari pihak Amerika menganggap bahwa Putin lah yang harus bertangung jawab atas peperangan ini. Amerika melihat keinginan ambisi otoriter presiden Rusia itulah yang ingin membangun kembali romantisme kejayaan Rusia abad ke-19 dengan mengobarkan perang berdarah untuk mengklaim sebagian besar negara berdaulat Ukraina. Dimana kejadian seperti ini menjadi tanda tanya besar di era negara modern saat ini.

Pada sisi lain Rusia pun melihat Washington sebagai sumber dari semua kejahatan internasional, yaitu dengan ikut campur dalam politik Ukraina dan menggunakan Kyiv untuk merusak keamanan Rusia. Mereka mengklaim perluasan NATO sampai ke perbatasannya membuat Moskow tidak memiliki pilihan selain turut campur tangan untuk mempertahankan kepentingan vitalnya dan melindungi warga negara Rusia dari "Nazi Ukraina" yang didukung Barat. Rusia menggunakan istilah "Nazi Ukraina" untuk membangun kebencian terhadap sejarah Perang Dunia II era Nazi Jerman yang hegemonik.

Rusia disinyalir telah menginvasi dengan alasan palsu yang dibuat-buat. Jika ada keluhan nyata dan kekhawatiran terhadap Kyiv atau Washington, Moskow dapat mengambil jalur hukum internasional atau melalui PBB. Dan hal ini memiliki pengaruh yang cukup efektif dan bijaksana. Namun yang terjadi justru sebaliknya, ia memilih perang konvensional yang terlihat kasar dan kuno. Kremlin tahu betul bahwa sebagian besar masalah di Ukraina adalah ulahnya sendiri. Dimana hal ini dulu sudah diawali dengan upaya mengklaim wilayah Krimea, untuk mengacaukan negaranya dan mendorong pemisahan diri di provinsi bagian timur Ukraina setelah Kyiv berbelok ke blok barat pada awal 2014.

Para pemimpin Rusia telah menjelaskan dalam beberapa kesempatan bahwa Ukraina memiliki tempat khusus di hati Rusia, dan bahwa dia tidak akan melepaskannya. Putin percaya, seperti yang dia jelaskan dalam sebuah artikel yang diterbitkan musim panas lalu, "Rusia dan Ukraina dulunya adalah satu orang atau satu kesatuan". Pernyataan ini menjadi sentimen yang indah namun juga terdapat niat terselubung dan dianggap sebagai "cinta yang dipaksakan". Intinya, Ukraina sangat diperlukan untuk kebangkitan kekaisaran Rusia.

Apa yang terjadi di Ukraina juga merupakan bagian dari sebuah pola. Kremlin campur tangan di bekas republik Uni Soviet seperti Georgia, Moldova dan Kazakhstan sebagai bagian dari ambisi kekaisaran yang sama. Sementara itu, Putin mengklaim bertindak defensif terhadap intervensi AS yang bermusuhan di lingkup pengaruh Rusia. Dia telah mengkritik, bahkan mengutuk "tatanan dunia berbasis aturan" yang dipimpin Barat, atau lebih tepatnya kekacauan yang didorong oleh pelanggaran hukum internasional AS yang tak henti-hentinya, termasuk campur tangan dalam urusan internal negara-negara di seluruh dunia.

Putin menuduh AS bersikeras menempatkan Ukraina dan Georgia pada jalur langsung menuju keanggotaan NATO pada tahun 2008, dan kemudian menghasut apa yang disebut revolusi Maidan di Ukraina yang menggulingkan sekutu Rusia, Viktor Yanukovych, pada tahun 2014. Kali ini, dia menyalahkan Washington karena secara sinis memperpanjang perang dengan mempersenjatai Ukraina dalam perang proksi untuk melemahkan Rusia dan militernya.

Perlu diperhatikan juga bahwa Putin menemukan sekutu strategisnya yaitu Cina, dimana Xi Jinping pun yang juga tidak senang dengan desakan dan campur tangan AS yang terus-menerus di Cina serta urusan politik dan keamanan Asia yang lebih luas, atas nama demokrasi dan hak asasi manusia. Selain itu, Rusia juga ikut campur dalam pemilihan AS yang akhirnya menempatkan demokrasi Barat dalam posisi defensif setelah kemenangan Donald Trump.

Dengan kata lain, Putin juga telah melakukan semua yang dilakukan oleh AS, namun lebih kasar. Betul adanya, AS secara sinis menggunakan Ukraina untuk melawan Rusia, tetapi tampaknya campur tangan AS lebih dijadikan alasan pembenaran bagi Rusia untuk menyerang Ukraina. Lantas bagaimana dengan negara-negara lain yang tidak terlibat? Bisa jadi berdosa juga karena tidak bisa menghentikan jatuhnya korban manusia. Pada akhirnya, masing-masing memiliki dosanya sendiri-sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun