Pendahuluan
"Seminar proposal bukan hanya soal akademik. Ia adalah panggung sunyi tempat hati diuji."
Bagi sebagian orang, seminar proposal mungkin hanya dianggap sebagai formalitas akademik. Sekadar syarat administrasi untuk bisa lanjut menulis Bab 4 dan 5, lalu menanti sidang akhir. Tapi bagi saya, seminar proposal adalah ruang pertemuan antara harapan dan kegugupan, antara teori yang dibaca dan keberanian untuk menyampaikan.
Beberapa hari sebelum hari-H, saya berusaha menata semuanya: naskah proposal, slide presentasi, bahkan hati saya sendiri. Saya isi hari-hari itu dengan belajar, membaca ulang, berdiskusi, dan... berdzikir dalam diam. Dalam hati saya menaruh harapan: semoga ketenangan batin akan membawa kejernihan pikiran. Semoga rasa gugup bisa diluluhkan oleh keyakinan bahwa ilmu ini sedang diperjuangkan, bukan sekadar dipresentasikan.
Namun hidup, sebagaimana panggung ujian, selalu menyimpan kejutan. Tidak semua yang saya harapkan berjalan sesuai skenario. Dan justru dari situlah pelajaran dimulai.
Menjelang Hari-H --- Antara Keyakinan dan Kosongnya Penguasaan
Hari-hari menuju seminar proposal, saya memasuki semacam zona senyap. Di satu sisi, saya berusaha meyakinkan diri bahwa saya siap. Semua sudah saya siapkan: materi, presentasi, bahkan keyakinan bahwa ini bagian dari jalan hidup saya sebagai mahasiswa pascasarjana di bidang Ketahanan Nasional. Tapi di sisi lain, saya juga tahu---ada yang masih kosong.
Saya membaca proposal saya berulang kali. Saya buka kembali referensi, saya buat catatan kecil, saya ulang-ulang narasi presentasi saya. Bahkan saya membuka ruang diskusi spiritual---mampir di "lounge" tasawuf dan filsafat, berdialog dengan diri sendiri dan Tuhan tentang apa makna semua ini. Saya pikir, jika hati saya tenang, maka semua akan mengalir. Presentasi akan lancar. Pemahaman akan muncul.
Tapi manusia sering salah membaca dirinya sendiri.
Di dalam hati, ternyata saya tahu: saya belum sepenuhnya menyatu dengan materi yang saya bawa. Ada bagian dari proses belajar saya yang terlalu cepat. Terlalu banyak menyusun, terlalu sedikit mengunyah. Saya mengandalkan sistem, tapi kurang berdialog dengan isi. Saya menyusun slide, tapi tidak benar-benar bercakap dengan teori yang saya tulis. Dan dari situlah rasa kosong itu muncul.
Tapi saya tetap maju. Karena saya percaya, langkah kaki yang jujur---meski belum sempurna---lebih mulia daripada mundur karena ingin terlihat ideal.