Pendahuluan
Mudik bukan sekadar tradisi pulang kampung. Ia adalah ritual tahunan yang menyatukan rindu, harapan, dan kenangan dalam satu perjalanan. Setiap tahun, jutaan warga Indonesia menempuh ratusan kilometer demi satu tujuan: berkumpul dengan orang-orang tercinta di hari yang fitri. Tapi, di balik kehangatan itu, ada cerita klasik yang tak bisa dilupakan: perjuangan mudik di masa lalu.
Bagi generasi yang tumbuh di era 90-an dan awal 2000-an, naik kereta api saat mudik adalah pengalaman yang penuh warna---dan peluh. Desak-desakan, bau campuran keringat dan gorengan, suara pedagang asongan yang bersahutan, hingga perjuangan mendapatkan kursi, semua adalah bagian dari "romantika" mudik zaman dulu. Bahkan banyak yang berujar, "Kalau belum berdiri 5 jam di lorong kereta, belum sah mudiknya."
Namun, waktu telah berubah. PT Kereta Api Indonesia (KAI) secara perlahan namun pasti melakukan revolusi diam-diam yang kini terasa dampaknya. Dari sistem pemesanan tiket, kebersihan gerbong, pelayanan petugas, hingga atmosfer stasiun---semuanya ditata ulang untuk satu hal: kenyamanan penumpang.
Mudik 2025 ini menjadi pengalaman yang benar-benar berbeda bagi saya dan keluarga. Tidak lagi penuh perjuangan, melainkan penuh kehangatan. Tidak lagi membuat stres, tapi justru menjadi bagian dari kebahagiaan. Dan itulah yang ingin saya bagi di artikel ini: cerita mudik dari Jakarta ke Cirebon, yang hanya memakan waktu 3,5 jam, tapi menyisakan kesan yang akan kami kenang seumur hidup.
Kilas Balik -- Kereta Api Dulu yang Penuh Derita
Bagi banyak orang, termasuk saya, kenangan naik kereta api di masa lalu bukanlah tentang kenyamanan, melainkan tentang ketahanan. Sebelum transformasi besar dilakukan oleh KAI, perjalanan dengan kereta api bisa dibilang ujian kesabaran nasional. Tiket memang murah, tapi "harga" yang dibayar tidak sekadar rupiah.
Penumpang harus berebut masuk, tak jarang kursi sudah ditempati orang lain meskipun punya tiket. Yang tidak kebagian tempat duduk, rela berdiri di lorong sempit, duduk di sambungan gerbong, bahkan ada yang naik ke atap kereta demi bisa mudik. Jendela dibiarkan terbuka karena gerbong panas tanpa AC. Suara pedagang asongan dan pengamen menjadi latar suara khas perjalanan, bercampur dengan bau keringat dan makanan yang menyengat. Toilet? Lebih baik ditahan sampai sampai tujuan daripada harus menghadapi horor sanitasi di sana.
Keterlambatan pun dianggap biasa. Jadwal keberangkatan dan kedatangan lebih sering jadi "acuan fleksibel". Belum lagi kondisi gerbong yang jorok, minim penerangan, dan tidak ada pengamanan yang memadai.
Menurut laporan KAI tahun 2008, tingkat keterlambatan kereta saat itu mencapai 47%, dan kerugian pelayanan publik (PSO)Â tercatat hampir Rp 800 miliar per tahun akibat rendahnya efisiensi dan pelayanan (KAI Annual Report, 2009).
Bahkan sebuah artikel Kompas (2012) menyebut kereta ekonomi saat itu sebagai:
"Angkot jarak jauh dengan ribuan penumpang dan nihil kepastian."