Mohon tunggu...
Pekik Aulia Rochman
Pekik Aulia Rochman Mohon Tunggu... Petualang Kehidupan Dimensi Manusia yang diabadikan dalam https://theopenlearner333.blogspot.com/

I can't do anything, I don't know anything, and I am nobody. But, I am An Enthusiast in learning of anything.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Bersuara Demi Alam, Dibungkam oleh Pasal: Ironi Pejuang Lingkungan di Era Digital

3 Mei 2025   13:05 Diperbarui: 3 Mei 2025   13:05 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kerusakan lingkungan akibat tambak udang vaname ilegal di Desa Kemujan, Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah. (Dokumen warga) via Kompas

Pendahuluan: Ketika Kritik Dianggap Kriminal

Bayangkan seseorang yang berdiri di pesisir pantai, menyaksikan air laut berubah warna, ekosistem rusak, dan suara burung laut perlahan hilang. Ia tak menggenggam senjata, hanya ponsel. Ia tak menyerukan kebencian, hanya kebenaran. Ia unggah video, menulis kalimat emosional, lalu... dijerat hukum.

Nama orang itu Daniel Frits Maurits Tangkilisan, aktivis lingkungan dari Karimunjawa. Ia bersuara bukan untuk tenar, melainkan karena tanah yang dicintainya tercemar. Namun alih-alih apresiasi, ia justru dilaporkan atas dasar Pasal 28 ayat (2) UU ITE---pasal yang sudah lama disebut-sebut sebagai "pasal karet."

Di negeri ini, membela lingkungan terkadang lebih berbahaya daripada merusaknya. Padahal jika suara-suara seperti Daniel dibungkam, siapa yang akan bicara untuk laut yang mati dan udara yang kotor?

Kisah Daniel bukan hanya soal satu orang yang dikriminalisasi, melainkan cerminan dari betapa sempitnya ruang publik kita ketika kritik dianggap kriminal. Apakah negara sedang mengabaikan suara rakyat demi menjaga "wajah" kuasa?

 Kasus Daniel Tangkilisan: Aktivis, Facebook, dan Penjara

Semua bermula dari satu unggahan Facebook. Pada 12 November 2022, Daniel mengunggah video yang memperlihatkan kerusakan pantai di Karimunjawa, akibat aktivitas tambak udang ilegal. Air berubah warna, hutan mangrove rusak, dan pencemaran merajalela. Dalam unggahan itu, ia menulis kalimat singkat tapi tajam: "masyarakat otak udang."

Kalimat itu menjadi pangkal perkara. Seorang warga bernama Ridwan melaporkannya dengan tuduhan menyebarkan kebencian, dan pada 27 Maret 2023, Daniel ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan melanggar Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian berbasis SARA.

Pada 7 Desember 2023, Daniel ditahan. Meski sempat ditangguhkan, ia kembali dijebloskan ke tahanan pada Januari 2024 setelah berkas perkaranya dinyatakan lengkap. Sidang perdananya digelar pada 1 Februari 2024 di Pengadilan Negeri Jepara. Vonis pun jatuh pada 4 April 2024: 7 bulan penjara dan denda Rp5 juta.

Padahal Daniel tidak sedang menebar kebencian berbasis ras atau agama. Ia sedang menyoroti fakta lapangan, menyuarakan keresahan kolektif atas kerusakan lingkungan yang sudah lama diabaikan. Tapi hukum seperti menutup telinga dan hanya fokus pada satu frasa emosional: "otak udang."

Daniel tak tinggal diam. Ia mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Semarang, dan pada 22 Mei 2024, ia dibebaskan. Namun, jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, membuat kasus ini belum selesai sepenuhnya.

Tak cukup sampai di situ, Daniel juga melangkah lebih jauh: ia menggugat Pasal 27A dan 28 ayat (2) UU ITE ke Mahkamah Konstitusi, pasal-pasal yang menurutnya membuka celah kriminalisasi terhadap kritik publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun