Banyak yang percaya Law of Attraction bisa mengubah hidup dalam sekejap, terutama di era ketika self-improvement menjadi tren besar di media sosial.
Menurut Google Trends, pencarian tentang "Law of Attraction" meningkat tajam sejak tahun 2020, seiring dengan lonjakan minat terhadap self-development di masa pandemi. Namun, di balik optimisme itu, ada kekecewaan yang jarang diungkap.
Mungkin bukan semesta yang salah mengerti kita. Mungkin, kita yang belum sepenuhnya memahami getaran yang kita pancarkan.
Salah Memahami Hakikat Law of Attraction
Banyak orang mengira bahwa cukup dengan berpikir positif, semesta akan otomatis mengantarkan keinginan mereka. Padahal, Law of Attraction tidak sesederhana itu. Ia adalah proses menyelaraskan pikiran, emosi, dan tindakan dalam satu frekuensi yang jernih.
Berpikir positif saja tidak cukup jika di dalam hati masih bersemayam keraguan, ketakutan, atau keputusasaan. Seperti yang ditulis Rhonda Byrne dalam The Secret, "Pikiran adalah magnet. Apa yang Anda pikirkan, itulah yang Anda tarik kepada Anda."
Meskipun prinsip Law of Attraction banyak menginspirasi, penting untuk memahami bahwa secara ilmiah, keberhasilan lebih banyak dikaitkan dengan perubahan mindset yang mendorong tindakan nyata.
Studi dalam psikologi positif menunjukkan bahwa keyakinan diri dan fokus positif dapat meningkatkan ketekunan serta memperbesar peluang pencapaian tujuan — bukan karena “magnet energi”, tetapi karena perubahan dalam perilaku dan sikap.
Semesta bukan hanya mendengarkan ucapan atau harapan di permukaan, melainkan merespons getaran terdalam yang kita pancarkan tanpa sadar.
Law of Attraction mengajarkan kita bukan sekadar untuk "meminta", tapi menjadi — menjadi pribadi yang sudah sefrekuensi dengan apa yang diimpikan.
Fokus Terlalu Banyak pada Kekurangan
Dalam praktik Law of Attraction, apa yang kita fokuskan akan berkembang.