Pendahuluan: Di Tepi Kali, Aku Mendengar Mereka Bicara
Sore itu, aku duduk di tepi kali. Kopi mengepul pelan di tangan kanan, angin menyapu dedaunan yang malas bergerak, dan langit seperti enggan memilih antara jingga atau abu-abu. Lalu, dari seberang meja kayu sederhana, kudengar dua suara saling bersahutan---berdebat, tapi tak bermusuhan. Saling mempertahankan keyakinan, tapi tetap menyeruput kopi yang sama.
Yang satu berbicara dengan logika yang tajam. Ia menyebut bahwa mempercayai Tuhan adalah taruhan paling aman. Katanya, "Kalau Tuhan ada, aku masuk surga. Kalau tidak ada, aku tidak rugi. Tapi jika aku tidak percaya, dan ternyata Tuhan memang ada, aku abadi di neraka." Kalimatnya rapi, seperti kutipan dari buku filsafat. Nadanya tenang, seperti orang yang sudah menghitung segalanya.
Yang satu lagi, seorang perempuan berjilbab, senyumnya tenang tapi matanya menyala. Ia tak sudi menyembah karena takut, apalagi demi hadiah. Ia berkata, "Jika aku menyembah karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya. Jika karena ingin surga, haramkan surga untukku. Tapi jika karena cinta kepada-Mu... maka jangan palingkan wajah-Mu dariku." Ucapannya bukan perhitungan, tapi kobaran.
Aku tidak tahu nama mereka saat itu. Aku hanya tahu, mereka sedang membicarakan iman. Yang satu memakai kalkulasi, yang satu memakai hati. Tapi keduanya sedang mencari Tuhan.
Aku hanya diam. Menyimak. Menyeruput kopi pelan-pelan. Kadang aku mengangguk ke dalam diriku sendiri, kadang justru tertawa kecil---bukan karena lucu, tapi karena aku tahu, aku ada di tengah dua jalan yang sering bertabrakan di dalam dada manusia.
Tulisan ini lahir dari momen itu. Saat aku tak jadi memilih siapa yang paling benar, tapi justru menemukan ruang hangat untuk mendengar mereka bicara. Karena siapa tahu, di tengah kopi dan debat iman, kita bisa temukan sesuatu yang lebih penting dari sekadar menang berargumen: rasa hangat dari kejujuran mencari.
Taruhan Pascal: Iman Sebagai Asuransi Spiritual
Orang itu bicara tenang, seperti dosen filsafat yang tahu betul batas antara keyakinan dan keraguan. Ia menyisipkan satu kalimat yang cukup membuat alisku naik sedikit: "Percaya Tuhan itu taruhan terbaik. Kalau ternyata Tuhan itu nyata, aku menang besar. Kalau tidak? Yah, aku cuma rugi sedikit---paling cuma kehilangan waktu berdoa dan sedikit pantangan."
Aku nyaris menyembur kopi. Bukan karena lucu, tapi karena... ya, terdengar sangat seperti asuransi syariah dengan bonus akhirat.
Belakangan kutahu, konsep ini berasal dari Blaise Pascal, matematikawan dan filsuf asal Prancis. Dalam esainya Penses, Pascal menyodorkan gagasan yang kini dikenal sebagai Pascal's Wager (Taruhan Pascal). Singkatnya, dalam kondisi ketidaktahuan tentang eksistensi Tuhan, manusia tetap perlu bertaruh. Dan dalam semua probabilitas, taruhan percaya Tuhan adalah pilihan paling aman---karena potensi hadiahnya tak terbatas (surga), sementara kerugiannya minimal (sedikit pembatasan hidup).
Secara logika, ini cerdas. Bahkan di era modern, banyak yang mengadopsinya tanpa sadar. Mereka rajin salat, ikut kajian, atau ikut-ikutan puasa Senin-Kamis bukan karena cinta atau kesadaran eksistensial, tapi karena... siapa tahu nanti masuk surga, kan?